Salah satu yang muncul di sebagian anggota masyarakat adalah kebiasaan menyalahkan yang lain. Dan ini juga berkembang di kalangan sebagian elite masyarakat. Terutama didalam penyelenggaraan negara. Jika terjadi penyimpangan, maka yang salah adalah peraturannya. Bukan pelaksanaan aturan yang memang tidaklah sempurna itu. Sesungguhnya itupun diingatkan oleh para pendiri negara, dikala pertama kali disusun dasar negara dalam bentuk Undang Undang Dasar. Dalam penjelasan UUD 1945, ditegaskan bila yang penting adalah semangat para penyelenggara negara. Bagaimanapun bagusnya sebuah UUD, pada akhirnya akan tergantung pada semangat penyelenggara negara. Di bidang UUD pada Penataran P4 dulu, keterangan itu dilengkapi dengan penjelasan. Kalaupun rumusan di UUD 1945 belum sempurna, jika semangat para penyelenggara negara itu baik, maka akan baiklah pengelolaan dan penyelenggaraan negara. Inipun sesungguhnya selalu diingatkan di dalam beragama (khususnya Islam), innamal akmalu bin niat, akan tergantung pada niatnya. Jika niatnya baik, kekurangan yang ditemui didalam aturan akan bisa disempurnakan kearah pelaksanaan yang lebih baik.
Kini semangat itulah yang dirasa kurang. Sehingga banyak pihak yang menyalahkan peraturan. Ketika pembangunan bidang ekonomi terasa kurang berpihak kepada rakyat, dan lebih cenderung berpihak pada pemilik modal (dengan kata lain berkembang kearah kapitalisme) maka yang disalahkan adalah Perubahan Pasal 33 UUD 1945. Padahal ketika dikaji, sesungguhnya tidak ada yang salah pada penambahan ayat (4) dan ayat (5) di Pasal 33 UUD 1945. Akan tetapi bagaimana para pelaksana mengelola negara. Merambah ke narkoba Demikian pula halnya berkembangkannya “politik uang” didalam setiap pemilihan, khususnya didalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti yang sedang berlangsung. Yang disalahkan adalah Perubahan UUD 1945. Padahal UUD 1945 tidak merumuskan tatacara pemilihan kepala daerah. Yang tercantum di Pasal 18 UUD 1945, bahwa Gubernur, Bupati atau Walikota dipilih secara demokratis. Kata demokratis ini bisa melalui DPRD, bisa pula dipilih langsung oleh rakyat. Undang Undang lah yang merumuskan dipilih langsung oleh rakyat. Nah, begitulah kecenderungan yang terjadi di masyarakat. Yang terbaru menyangkut narkotika dan bahan berbahaya, yang sering disingkat dengan narkoba. Karena merebaknya perdagangan gelap narkoba, sebagian orang (termasuk elite) kembali mempersoalkan Undang Undang atau peraturan perundang-undangannya yang berhubungan dengan hal ini. Memang persoalan narkoba yang kita hadapi sudah pada tingkat darurat. Sudah memasuki lampu merah. Jika tidak ditangani sungguh-sungguh, maka akan membuat negara ini terbakar. Anda bisa bayangkan, dalam waktu sebulan ditangkap kapal asing yang membawa barang haram itu dalam jumlah yang amat mencengangkan. Di bulan Juli 2017 di tangkap di Banten seberat 1 ton sabu, lantas awal Februari 2018 di tangkap lagi seberat 1,03 ton sabu, dan tanggal 20 Februari 2018 ditangkap kapal membawa seberat 1.6 ton sabu di Kepulauan Riau. Sabu-sabu ini berasal dari Cina. Kalau dihitung-hitung, korban yang disasarnya bisa mencapai jutaan orang. Menenggak narkoba paling-paling hitungan gram. Jika sampai 3,6 ton, maka itu sama dengan 2,6 x 1.000 x 1.000 gram. Berarti jumlahnya mencapai 3.600.000 gram. Belum lagi yang diselundupkan di dalam pipa paralon, ribuan butir di dalam bungkusan, atau berton-ton di dalam truk atau kapal. Mantan Kepala BNN menegaskan sekitar 250 ton narkoba di seludupkan dari Cina. Peredaran uang dalam bisnis inipun tidak lagi hitungan juta. Bahkan mencapai triliunan, seperti yang baru-baru ini diumumkan tim BNN, PPATK, Kemkeu, dan Kepolisian. Korbannya setiap kali akan bertambah. Angkanya sudah melebihi 5 juta orang. Dan itu menyangkut semua barisan, dari artis, politisi, birokrat, sampai penegak hukum. Kalau kalangan pelajar jangan lagi dibicarakan. Data-data tentang ini sudah berulangkali diumumkan. Tak heran bila banyak pihak mencari akar masalahnya. Hingga sampai pada tudingan peraturannya kurang tegas. Terkadang dimulai dari hukumnya lemah. Sebagian dari unsur pemerintah dan teman-teman di DPR menuding pada Undang Undangnya yang memerlukan revisi. Sebagaimana diperhatikan, teman-teman di Senayan itu “seolah” hanya memikirkan revisi Undang Undang yang sudah ada. Contohnya banyak sekali. Misalnya UU Pemilu, sampai yang terakhir UU MD3. Jika kita melirik pada UU yang terkait narkoba, yakni UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sesungguhnya apanya lagi yang disebut lemah? Karena dalam ketentuan pidana di kedua UU ini juga ditegaskan tuntutan pidana mati. Jadi tidak hanya sekedar pidana seumur hidup. Begitu juga jumlah dendanya. Demikian juga halnya yang menyangkut bahan atau zat yang menjadi lampiran kedua UU itu. Cukuplah mencantumkan bahan atau zat utama yang biasa disalahgunakan. Misalnya untuk UU Narkotika, ditegaskan ganja dan turunannya, candu dan turunannya, serta koka dan turunannya. Jika berkembang narkotika baru akibat otak atik bahan utama ini, termasuk bahan atau zat baru yang dikenal, cukup diatur di Peraturan Menteri Kesehatan. Jadi Permenkes ini yang perlu selalu diperbaharui. Demikian juga halnya dengan bahan-bahan yang termasuk Psikotropika. UU cukup mencantumkan zat atau bahan utama. Dan mempertegas turunan atau derivatnya. Misalnya amfetamin.
Dengan sendirinya akan mencakup metampetamin (terkadang di pasaran dikenal sebagai sabu-sabu seperti yang ditangkap di perairan Riau itu) atau methylendioxiamfetamin (MDA) atau MDMA yang popular dengan Ekstasi. Biasanya yang disebut Narkoba baru adalah turunan dari bahan atau zat utama. Atau otak atik dari bahan utama. Dan turunan serta hasil otak atik ini cukup di jadikan lampiran Permenkes yang perlu di evaluasi dan diperbaharui setiap saat. Tapi, kembali pada cerita diatas, semua itu akan tergantung pada semangat para penyelenggara negara. Artinya akan tergantung bagaimana pelaksanaannya. Jadi yang amat penting diperhatikan adalah pelaksananya. Apakah mereka melaksanakan tugasnya dengan sungguh sungguh dan baik. Tentu sesuai bidangnya masing-masing. Bahkan juga semua unsur masyarakat. Bagaimana memperkuat pertahanan diri. Agar tidak menggunakan atau mengkonsumsi Narkoba. Jika demikian, maka pasarnya akan hilang. Setidaknya berkurang. Artinya menuntut peranan kita kita ini juga. Bagaimana ikut memberantas penyalahgunaan Narkoba didalam kehidupan kita masing-masing. Aturan hanyalah perangkat. Jangan selalu menyalahkan aturan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi