Sebagian ekonom termasuk pemerintah, merencanakan kebutuhan listrik berdasarkan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan pendekatan demand driven. Hitungannya, rata-rata dalam setiap pertumbuhan ekonomi 1%, dibutuhkan 1,8% pertumbuhan energi listrik. Itu hitungan klasik yang digunakan hingga saat ini. Pada saat perencanaan megaproyek listrik 35.000 MW menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi 7% masih dianggap rasional. Tapi, pertumbuhan ekonomi tidak sesuai asumsi, sehingga akan surplus ketika target 35.000 MW terealisasi. Kebijakan ini sebenarnya menurut saya bermasalah.Kalau pendekatannya demand driven, yang terjadi adalah di mana ada kebutuhan di situ akan disediakan. Apa yang terjadi? Pertama, pemerintah enggan membangun pembangkit atau mengembangkan kelistrikan di Luar Jawa yang permintaannya kecil.
Jangan takut surplus listrik
Sebagian ekonom termasuk pemerintah, merencanakan kebutuhan listrik berdasarkan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan pendekatan demand driven. Hitungannya, rata-rata dalam setiap pertumbuhan ekonomi 1%, dibutuhkan 1,8% pertumbuhan energi listrik. Itu hitungan klasik yang digunakan hingga saat ini. Pada saat perencanaan megaproyek listrik 35.000 MW menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi 7% masih dianggap rasional. Tapi, pertumbuhan ekonomi tidak sesuai asumsi, sehingga akan surplus ketika target 35.000 MW terealisasi. Kebijakan ini sebenarnya menurut saya bermasalah.Kalau pendekatannya demand driven, yang terjadi adalah di mana ada kebutuhan di situ akan disediakan. Apa yang terjadi? Pertama, pemerintah enggan membangun pembangkit atau mengembangkan kelistrikan di Luar Jawa yang permintaannya kecil.