Janggalnya moratorium remisi korupsi dan terorisme



JAKARTA. Setelah dicecar di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Amir Syamsuddin akhirnya mengatakan kebijakan awal moratorium remisi terpidana kasus korupsi dan terorisme mulanya belum memiliki keputusan resmi. Surat pertama moratorium remisi dikeluarkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham tertanggal 31 Oktober 2011. Sementara Surat Keputusan (SK) Menkumham yang seharusnya menjadi dasar moratorium remisi justru bertanggal 16 November 2011. "Kebijakan awal itu belum ada keputusan resmi, tapi kebijakan itu saya yang bertanggungjawab. Untuk itu saya pertegas dengan SK yang memperjelas itu," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Komisi III tampak tidak puas dengan penjelasan Amir ini. Ketua Komisi III Benny K Harman mempertanyakan mana surat yang sebetulnya berlaku, apakah surat edaran 31 Oktober atau SK Menkumham tanggal 16 November. “Peraturan yang mengikat secara hukum itu SK, kalau demikian seharusnya mereka yang dapat putusan bebas sebelum tanggal 16 November itu mereka harusnya bebas demi hukum,” ujarnya. Dalam upaya mencari solusi Benny mengingatkan bahwa dalam SK tersebut ada ketentuan yang menyatakan SK terbuka untuk diperbaiki bila memang ditemukan kesalahan. Akan tetapi Amir menegaskan bila keputusan dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal pelaksanaan pembebasan bersyarat, jadi tidak mengacu pada tanggal pembuatan. Sementara itu, Ahmad Yani meminta agar masalah ini segera diklarifikasi. Masalahnya, dalam SK Menkumham masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 32/1999 yang sudah dinyatakan batal dengan adanya PP No. 28/2006 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Negara Binaan Masyarakat. Dalam PP No. 28/1996 ini pun menurutnya sudah ada ketentuan yang cukup ketat. “Jangan diberikan sedikit pun ruang impeachment pada presiden gara-gara kebijakan ini,” tandasnya. Suasana rapat memanas ketika sejumlah Politisi Partai Golkar angkat suara. Bambang Soesatyo dua kali meminta Komisi III segera menggunakan hak interpelasi soal kebijakan moratorium ini. Sementara Azis Syamsuddin sempat mempersilakan Wamenkumham Denny Indrayana meninggalkan ruangan rapat. “Wamen, jangan bisik-bisik. Yang kami undang di sini adalah Menkumham. Saya tidak izinkan Anda bicara karena posisi Anda yang masih mendua di Setgab (Sekretariat Gabungan). Kalau Anda tidak suka, Anda bisa keluar,” katanya. Sebelumnya, Amir sempat minta izin agar jajarannya juga diberi kesempatan memberikan pendapat. Karena situasi makin memanas, rapat akhirnya diputuskan ditunda. Amir sempat mengatakan bahwa persoalan ini adalah persoalan tafsir. Ia mengusulkan bila memang dalam rapat ini tidak ditemukan kesepahaman, maka persoalannya boleh dibawa ke PTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) “Bukan maksud saya menantang, tapi bila apa yang saya kerjakan dinilai salah kemudian kita tetap dengan pendirian masing-masing, saya kira yang terbaik itu agar SK saya diuji di PTUN yang memang berwenang dalam hal ini,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Djumyati P.