Jasa bisnis alih daya mulai ketar-ketir



JAKARTA. Adanya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) soal sistem alih daya (outsourcing) bakal mematikan bisnis outsourching. Lantaran beleid ini cuma mengatur lima bidang pekerjaan. Yakni tugas kebersihan, keamanan, transportasi, katering, dan pemborongan pekerjaan pertambangan.

Wisnu Wibowo, Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (Abadi) menolak penerapan pembatasan bidang alih daya. "Akan ada ribuan perusahaan yang gulung tikar jika pembatasan diterapkan," ujarnya kepada KONTAN, Jumat (9/11).

Ia memperkirakan bisnis alih daya tahun ini bisa mencapai Rp 1 triliun. Pertumbuhan bisnis inipun sejalan dengan kenaikan upah minimum provinsi dan kabupaten atau kota (UMP/UMK) saban tahunnya. Sudah ada tujuh provinsi yang menetapkan kenaikan upah minimum dengan rentang antara 8%-29% mulai tahun depan.


Saat ini, anggota Abadi sekitar 100 perusahaan. Dari data  Kemenakertrans, jumlah perusahaan alih daya sekitar 6.239 perusahaan. Namun kalau dihitung dengan perusahan yang belum terdaftar, jumlah perusahaan alih daya di Indonesia bisa mencapai 12.000 perusahaan dengan total pekerja 20 juta orang.

Persoalanya, jumlah perusahaan yang berkecimping di lima bidang usaha yang dibolehkan pemerintah berkisar 5%-10% dari total perusahaan alih daya. Imbasnya bakal banyak perusahaan alih daya yang gulung tikar.

Pekerja pun bakal banyak yang berhenti bekerja. Pasalnya, perusahaan alih daya dan pemberi kerja cuma mampu mengangkat 30%-40% dari total tenaga alih daya atau sekitar 6 juta - 8 juta pegawai.

Untungnya, Abadi punya langkah antisipasi. Seperti mengubah pekerjaan alih daya menjadi pekerjaan borongan.

Indra Munaswar, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit(FSPTSK) tidak mempermasalahkan adanya pembatasan perusahaan bagi alih daya. Hal yang terpenting adalah pengawasan terhadap perusahaan alih daya yang nakal. Seperti tidak memberi hak yang layak bagi pekerja.

Misalnya, Cuk Kristianto, pekerja di PT Sarana Mitra Sempurna yang mengaku sulit untuk mengganti uang kesehatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon