Ketika jatuh, segera bangkit dan bekerjalah dengan antusias serta selalu berpikiran positif. Kalimat ini paling sering diucapkan Hendrik Tio dalam wawancara dengan KONTAN beberapa waktu pekan lalu. Lebih dari lima kali, kalimat itu keluar dari mulut
chief executive officer (CEO) dan pendiri Bhinneka.com ini sepanjang wawancara selama sekitar satu jam. Kalimat tersebut memang jadi obat penguat bagi Hendrik dalam mengarungi naik turun bisnis
online-nya. Berkat obat kuat itulah, pria kelahiran 1963 ini berhasil membawa Bhinneka.com sebagai salah satu perusahaan rintisan alias
start-up terkemuka di Indonesia.
Seperti banyak pengusaha lainnya, perjalanan Hendrik menapaki kesuksesan juga tak mulus. Banyak hambatan yang harus dia lewati. Dan, keberhasilan melalui berbagai rintangan itu membuat Bhinneka.com bisa bertahan hingga sekarang, tepatnya selama 23 tahun. Saat ini, Bhinneka.com jadi salah satu pemain utama dalam bisnis e-commerce di negara kita. Ada lebih dari 50.000 produk, 760.000 anggota, 2.600
merchant, dan 36 kategori produk di toko
online ini. Omzetnya? Bukan main, lebih dari Rp 1 triliun per tahun, dengan jumlah karyawan total mencapai 715 orang. Sebelum memilih jadi pebisnis, Hendrik adalah tenaga pemasaran di sebuah perusahaan teknologi informasi (IT) asing. Ia menjalankan pekerjaan ini sejak masih duduk di bangku kuliah. Di perusahaan asal Singapura itu, dia punya karier yang bagus. Pencapaian tertingginya adalah menjadi kepala cabang area Medan. Tapi, Hendrik muda ternyata tidak puas. Setelah menamatkan kuliah, ia memilih hijrah ke Jakarta. "Saya melihat peluang karier yang lebih baik di Jakarta ketimbang di Medan," ujar alumnus Jurusan Akuntansi Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, ini. Namun, kebersamaan Hendrik dengan perusahaan itu hanya berumur dua tahun. Pria kelahiran Rantauprapat, Sumatra Utara, ini memilih mengundurkan diri. Ada dua alasan dia
resign.
Pertama, perusahaan tempat ia bekerja tidak mau menerima ide-idenya.
Kedua, perusahaan tersebut memilih menutup usahanya di Indonesia dan memilik fokus berbisnis di Singapura. Setelah itu, di tahun 1993, Hendrik memutuskan untuk terjun ke dunia bisnis. Bersama empat rekannya, ia mendirikan PT Bhinneka Mentari Dimensi yang berkantor di sebuah rumah kontrakan yang terletak di sebuah gang buntu daerah Pulomas, Jakarta Timur. Perusahaan ini bergerak di distribusi produk-produk IT. Awalnya, Bhinneka Mentari jadi distributor barang arsitektur, seperti mesin gambar dan printer. Bhinneka Mentari mendapat rekanan dari luar negeri lantaran Hendrik pernah berkerjasama dengan perusahaan itu ketika masih bekerja sebagai tenaga pemasaran. Untuk memodali Bhinneka Mentari, Hendrik merogok koceknya Rp 100 juta dengan 12 pekerja. Bisnis Bhinneka Mentari menunjukkan pertumbuhan yang potensial. Buktinya di tahun kedua beroperasi, perusahaan ini memperoleh suntikan modal dari investor malaikat atau
angel investor. Tahun 1996, Hendrik memperluas sayap bisnisnya. Bhinneka Mentari merambah bisnis jual beli komputer termasuk komputer rakitan. Dia melihat peluang yang cukup besar dari bisnis itu. Untuk mengembangkannya, ia mengirim tim ke Amerika Serikat (AS) guna menyakinkan Micron Electronics, produsen komputer bermerek Micron, agar mau menjalin kongsi dengan Bhinneka Mentari. Gayung bersambut, Micron Electronics menunjuk Bhinneka Mentari sebagai distributor produknya di Indonesia. Tentu, Hendrik tak mau menyia-nyiakan kepercayaan itu. Setahun berselang, Bhinneka Mentari mendapat penghargaan sebagai Distributor of The Year dari Micron Electronics. Tahun 1997, Bhinneka Mentari pun menjelma jadi distributor komputer,
peripheral, rancang bangun perangkat lunak jasa jaringan (Lan/Wan), solusi video
editing, hingga pusat servis. Dan tahun itu juga, Hendrik mencapai
break event point atau balik modal. Tetapi, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Cobaan datang. Krisis moneter Asia yang bermula dari kejatuhan nilai tukar bhat Thailand terhadap dollar AS menular ke Indonesia. Ekonomi ambruk, ditandai dengan pelemahan nilai tukar rupiah hingga Rp 16.000 per dollar AS. Utang swasta dalam dollar AS melambung. Banyak perusahaan kolaps, tak terkecuali Bhinneka Mentari. Maklum, Bhinneka Mentari merupakan importir yang bisnisnya terpengaruh pada nilai tukar. Berbagai cara diupayakan agar Bhinneka Mentari bisa bertahan. Salah satunya, dengan merambah bisnis non-IT. Namun, upaya itu ternyata tak menolong banyak. Penjualan terus turun karena daya beli merosot. "Ini masa yang sulit, bisnis yang sudah berkembang kemudian jatuh. Kami dituntut untuk menghadirkan solusi yang cepat dengan biaya yang kecil," ungkap Hendrik. Tahun 1999, Hendrik mengumpulkan 24 karyawan yang tersisa, dari sebelumnya 129 pegawai, untuk membangun ulang bisnis. Pria 53 tahun ini akhirnya mendapatkan kesimpulan: untuk membangun bisnis butuh
brand kuat. Perusahaan yang memiliki
brand yang kuat lebih berkembang dalam kondisi normal maupun krisis, lantaran masyarakat akan mencari perusahaan tersebut. Hendrik juga memutuskan tetap mengembangkan bisnis jual beli produk-produk IT. Sebab, produk ini punya potensi yang besar karena kebutuhan masyarakat terus meningkat. Perubahan hanya pada model bisnis, dari agensi distribusi jadi ritel produk komputer. Perubahan lain yang tak kalah besar adalah merambah ke bisnis
e-commerce. Keputusan ini berkaca dari
booming bisnis internet di AS. Alasan lainnya, cara ini lebih ramah bagi kantong Hendrik yang pas-pasan ketimbang mendirikan toko
offline. Untuk berbisnis
online, ketika itu hanya perlu mengeluarkan dana untuk biaya
hosting dan
domain. Alhasil, lahirlah situs Bhinneka.com. Rasa percaya Masuknya Bhinneka Mentari ke bisnis
online menandakan babak baru perusahaan ini. Bagi Hendrik, Bhinneka.com sama saja dengan membangun bisnis dari nol, dengan keyakinan model ini merupakan masa depan bisnis Bhinneka Mentari. Sekalipun tanpa sumber daya yang mumpuni, Hendrik bersama rekannya membangun toko
online. Awalnya, Bhinneka.com berbentuk katalog dari produk-produk yang mereka tawarkan. Hendrik menambah barang dagangan Bhinneka.com setiap hari dan mengubah desain situs dua kali dalam setahun. Pada tahap awal, bisnis Bhinneka.com berjalan dengan lambat. Angka kunjungannya sangat sedikit. Ada 50 pengunjung dalam sehari saja, sudah dianggap sangat baik. Maklum, ekosistem belum terbentuk. Plus, infrastruktur internet Bhinneka.com menggunakan
dial up, yang masih merupakan sebuah kemewahan. Akses pun jadi lambat. Untuk membuka situs lengkap dengan gambarnya, butuh waktu yang tidak sebentar. Bahkan, bila berhasil masuk, belum tentu gambarnya muncul. Apalagi, masyarakat yang melek internet saat itu masih sedikit. Hendrik berusaha mengangkat
traffic Bhinneka.com dengan lebih memperkenalkannya pada masyarakat luas. Karyawan pun aktif menghubungi konsumen dan mereferensikan situs Bhinneka.com. Manajemen juga mencoba peruntungan dengan memasang iklan di media massa. Selain itu, Hendrik mengungkapkan, masalah lain yang dihadapi ialah logistik dan pengiriman barang yang belum baik. Sebab itulah, Bhinneka.com hanya melayani pembelian di area Jakarta dan mengantarkannya lewat kurir sendiri. "Pada periode itu, kami mencoba beriklan di sisipan
Kompas. Biayanya cukup murah bagi kami dan distribusinya yang luas berhasil meningkatkan
traffic," kenang Hendrik. Keberhasilan Bhinneka.com bertumbuh di tengah krisis dan
booming internet mengundang banyak investor asing dan lokal yang masuk bisnis ini. Setahun berselang, sudah muncul situs jual beli seperti lipposhop.com, astaga.com, kopitime.com. Namun, belum seumur jagung euforia belanja
online melanda Indonesia, gelembung ekonomi (bubble economic) dotcom pecah di AS. Perusahaan-perusahaan berbasis internet yang harga sahamnya sempat meningkat tajam dan diburu investor, mengalami penurunan drastis akibat kegagalan menemukan modal bisnis yang sesuai, merugi, atau bangkrut. Bagi perusahaan internet di Indonesia, kejadian ini memperburuk tingkat kepercayaan masyarakat. Orang semakin enggan berbelanja
online. Bhinneka.com bahkan sampai harus menerima kenyataan pahit: permohonan pinjamannya ditolak perbankan. Belum lagi, sistem pembayaran secara
online belum terbangun dengan baik di Indonesia. Waktu itu, masyarakat hanya punya sedikit opsi dalam pembayaran non-tunai. Salah satunya, dengan kartu kredit. Tapi, masyarakat masih harus dikenakan biaya yang mahal sekitar 9% untuk sekali gesek. Penyimpangan (
fraud) kartu kredit pun sangat tinggi. Guna merebut kepercayaan masyarakat lagi, tahun 2001 Bhinneka.com membuka toko
offline pertama di Mangga Dua Mall. Enam tahun kemudian, menyusul toko
offline di di Poins Square dan Mall Ambassador. Saat ini Bhinneka.com punya toko
offline di Jakarta dan Surabaya. Menurut Hendrik, toko
offline sukses mengembalikan kepercayaan masyarakat pada Bhinneka.com. Masyarakat yang tidak percaya berbelanja
online bisa langsung mengecek ke toko
offline. Ia mengklaim, Bhinneka.com sebagai e-commerce pertama di Indonesia yang menerapkan sistem
offline dan
online. "Dan, sistem ini saling mengisi sehingga memengaruhi penjualan. Pada masa itu kami hanya melayani pembayaran secara transfer dan
cash on delivery dalam pembelian
online," beber Hendrik. Terus berinovasi Seiring kondisi ekonomi yang membaik serta akses dan pengetahuan masyarakat yang meningkat pada internet, bisnis Bhinneka.com terangkat. Bisnis mereka berkembang karena persaingan belum terlalu ketat seperti saat ini. Bhinneka.com jadi toko yang menyediakan 3C (
computer,
communication, costumer electronic). Hendrik menerangkan, pasca melewati masa sulit tersebut, Bhinneka.com fokus mengembangkan layanan untuk memberikan nilai tambah pada pelanggan dan ekspansi produk yang dijual. "Kami punya waktu yang panjang untuk menggarap pasar, sehingga kami tidak ikut bertarung dengan para pemain e-commerce lain seperti sekarang ini," ujar Ketua Dewan Pembina Asosiasi E-Commerce Indonesia (IdEA) ini. Layanan yang disempurnakan adalah sistem pembayaran dengan kartu kredit. Sejatinya, layanan ini sudah dihadirkan sejak 2010 namun sempat dihentikan karena bank memungut biaya yang tinggi. Setahun kemudian, pembayaran dengan kartu kredit dihadirkan lengkap dengan layanan pembayaran lainnya. Saat ini Bhinneka.com menyediakan 13 macam sistem pembayaran, mulai dari kartu kredit, e-money, hingga pembayaran dengan faktur. Tak lupa, Bhinneka.com menangkap peluang dari penetrasi ponsel pintar yang tinggi. Sejak tahun 2012, mereka mengembangkan
mobile platform berbasis Android, BlackBerry, dan iOS. Dalam waktu dekat, Bhinneka.com akan meluncurkan wajah baru dari aplikasi bergerak mereka. Tahun lalu, Bhinneka.com juga membuat lompatan baru. Mereka memasuki bisnis
marketplace lewat Bhinneka Marketplace. Konsepnya tidak jauh dari
marketplace yang sudah ada, yakni dengan menggandeng penjual lain untuk menawarkan barangnya di Bhinneka. Perbedaannya, tidak semua pedagang bisa bergabung. Ada proses kurasi ketat untuk menghindari barang bajakan dan penipuan. Bhinneka.com juga menggarap segmen korporasi melalui Bhinneka Bisnis. Layanan ini adalah platform
online pencarian dan pengadaan kebutuhan produk serta jasa korporasi.
Bhinneka Bisnis menawarkan akses terhadap
online catalogue ke lebih dari 150.000 produk dan jasa, khusus untuk segmen korporasi. Keunggulan layanan ini: perusahaan bisa melakukan pembayaran secara bertahap. Ada juga fitur
tracking alias pelacakan. Jadi, perusahaan bisa tahu yang melakukan pembelian. Hendrik menambahkan, dalam bisnis
online, inovasi harus terus dilakukan karena dunia internet cepat berubah. Inovasi juga memastikan pelanggan tetap setia, meskipun banyak kompetitor yang lahir. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: S.S. Kurniawan