KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna buka suara ihwal sengkarut saham antara PT Aryaputra Teguharta dengan PT BFI Finance Tbk (BFIN). "Bursa melaksanakan perannya untuk menjaga pasar yang teratur, wajar dan efisien," kata Nyoman kepada Kontan.co.id, Senin (20/8) malam. Sepanjang peran Bursa di atas tak terganggu, meskipun ada perkara hukum Nyoman bilang transaksi saham BFIN tetap dapat berlangsung. "Terkait dengan issue yang ada di BFIN, sepanjang kasus hukum yang ada tidak mengakibatkan dampak pada peran Bursa di atas, maka perdagangan Efek dapat berlangsung," sambung Nyoman.
Sebelumnya, kuasa hukum Aryaputra Pheo Hutabarat dari Kantor Hukum HHR Lawyer bilang, pihaknya siap menempuh langkah hukum, jika Bursa maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak memberikan perlindungan kepada Aryaputra yang mengklaim masih memiliki 32,32% saham BFIN. "Mohon OJK, dan BEI bisa objektif melihat sengketa ini, karena sesungguhnya ini terkait fundamental industri pasar modal, soal penegakan dan perlindungan hukum kepada investor. Jika OJK, dan BEI tidak mengindahkan hukum yang berlaku, tentu kita akan melakukan langkah hukum yang diperlukan," kata Pheo, Senin (20/8) di Jakarta. Salah satu upaya dikatakan Pheo bisa dilakukan dengan melakukan delisting kepada BFIN. Untuk menunggu benderangnya sengketa saham ini. Terkait hal ini, Nyoman bilang setidaknya Bursa akan terus mendorong BFIN membuka informasi seterangnya, agar investor punya pijakan ambil tindakan. "Hal yang dilakukan Bursa adalah secara terus menerus meminta disclosure kepada BFIN sehingga informasi yang ada di publik tersedia dengan fully disclosure sebagai dasar pertimbangan investors mengambil keputusan investasinya," ungkap Nyoman. Pihak Bursa juga dikatakan Nyoman akan mendukung semua pihak guna menyelesaikan sengketa ini. Termasuk adanya Laporan Polisi Dar Aryaputra kepada BFIN terkait adanya dugaan corporate fraud. Laporan ke Bareskrim Polri tersebut bernomor LP/654/V/2018. "Dalam hal ada penggilan dari institusi tertentu dan menyangkut tugas Bursa, Intinya Bursa akan cooperative dan siap mensupport sesuai kewenangannya. Itu yang penting," lanjut Nyoman. Mengingatkan, sengketa saham milik Aryaputra sendiri berawal ketika induk perusahaannya, PT Ongko Multicorpora mendapatkan fasilitas kredit dari BFI Finance. Nah, 111.804.732 saham Aryaputra, dan 98.388.180 saham Ongko di BFIN jadi jaminan atas fasilitas tersebut. Kesepakatan tersebut dilakukan pada 1 Juni 1999, dan akan berakhir pada 1 Desember 2000. Dalam salah satu klausul perjanjiannya, jika Ongko tak melunasi tagihannya, maka BFI berhak melego saham-saham tersebut. Sayangnya hal itu benar terjadi pada 7 Desember 2000. Ketika BFIN terjerat proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). 210.192.912 total saham tersebut kemudian dibeli oleh Law Debenture Trust Corporation, perusahaan offshore trustee dari Inggris.
Hal tersebut yang kemudian ditolak Aryaputra, lantaran merasa pengalihan saham dilakukan tanpa persetujuan Aryaputra. Meski dalam beberapa kesempatan, BFIN membantah hal ini, drngan alasan peralihan saham terhadap Law Debenture disepakati melalaui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dimana Aryaputra menyetujuinya kala itu. Sementara kini, Aryaputra juga telah melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Mereka menggugat pengesahan-pengesahan perubahan struktur kepemilikan saham setelah peralihan saham yang dinilainya ilegal tersebut. "Sudah ada penetapan penundaan atas objek sengketa, sehingga dengan skorsing tersebut kondisi kepemilikan saham kembali ketika belum terjadi peralihan saham," sambung Pheo. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .