JAKARTA. Rencana pembangunan PLTU Batang, di Jawa Tengah mendapatkan perlawanan dari Paguyuban UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban). Hal itu terkait keinginan masyarakat Batang untuk mempertahankan lingkungan yang sehat dan mempertahankan mata pencaharian. Mereka ingin mempertahankan lahan pertanian dan laut mereka yang akan terancam jika PLTU Batang didirikan. Untuk mencegah pembangunan tersebut, perwakilan Paguyuban UKPWR yang diwakili dari daerah Karanggeneng serta Ponowareng dan didampingi oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Greenpeace mendatangi Pemerintah Jepang, Itochu, J-Power dan JBIC.
Taryun perwakilan dari Desa Ponowareng mengatakan, pihaknya telah melakukan aksi demo di depan kantor Japan Bank For International Cooperation (JBIC). “Kita mendesak agar JBIC menarik pembiayaan di proyek PLTU Batang. Karena pembiayaannya itu, masyarakat telah hilang mata pencaharian hingga perampasan hak asasi manusia seperti hak atas berserikat komunikasi dan informasi, hal atas pekerjaan yang layak, hak atas tanah, serta atas keadilan,” ujar Taryun dalam rilisnya, Selasa (9/9). Ia menyebut, saat ini pemilik tanah yang tersisa tidak mau menjual tanahnya, karena menurutnya hal tersebut bagian dari hak pemilik tanah untuk tidak menjual tanah. “Jadi hentikan adanya intimidasi kepada pemilik tanah,' kata Taryun. Menurutnya saat ini warga resah karena di intimidasi dan diberi tekanan. "Para pemilik lahan yang tersisa didesak untuk menjual tanahnya oleh perusahaan dengan target 6 Oktober 2014. Karena waktu tersebut adalah masa deadline JBIC mendanai PLTU Batang. Jika pembebasan tanah PLTU Batang tidak memenuhi target maka sesuai dengan kontrak atau kesepakatan tersebut, maka PT Bhimasena Power Indonesia berhenti mendapatkan pembiayaan dari JBIC," jelasnya.