Jebakan negara pendapatan menengah



Baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pendapatan per kapita masyarakat Indonesia. BPS menyebut, pendapatan per kapita per tahun 2018 mencapai US$ 3.927. Angka ini naik dari tahun lalu US$ 3.876. Meski naik, status Indonesia masih dikategorikan low middle income countries belum upper middle income countries.

Memang pendapatan per kapita Indonesia US$ 3.927, masuk kategori upper middle income countries Bank Dunia. Namun Bank Dunia menggunakan Pendapatan National Bruto (PNB). Sementara BPS menggunakan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sehingga status Indonesia masih sebagai low middle income countries.

Sebagai informasi, Middle Income Countries (MIC) merupakan klasifikasi negara yang dikeluarkan Bank Dunia, yang diukur dari PNB kapita setiap negara. Bank Dunia membagi MIC menjadi dua kelas yaitu Low MIC dengan pendapatan per kapita US$ 996–US$ 3.896. Sementara Upper MIC dengan pendapatan per kapita US$ 3.896–US$ 12.055.


Kedua kelas inilah yang harus dilalui sebuah negara hingga akhirnya menyandang status sebagai negara pendapatan ekonomi tinggi dengan pendapatan per kapita mencapai diatas US$ 12.056.

Di beberapa kasus, negara yang masuk MIC terjebak kategori ini dalam jangka waktu lama. Kondisi ini dikenal dengan Jebakan Negara Pendapatan Menengah.

Lalu dimana posisi Indonesia? Saat ini Indonesia masih berstatus sebagai negara middle income countries. Indonesia menyandang status negara MIC sejak 1996.

Menurut studi Felipe (2012) sebuah negara memiliki waktu 42 tahun untuk keluar dari kategori middle income country. Ini didasarkan pengalaman empiris dari negara-negara yang mengalami dan tidak mengalami middle income trap. Jika merujuk data ini, maka waktu yang tersisa bagi Indonesia untuk keluar dari middle income trap adalah 19 tahun lagi.

Terperangkap di negara pendapatan menengah tentu bukan pilihan. Indonesia akan mengalami beberapa konsekuensi seperti menurunnya nilai investasi swasta, rendahnya serapan angkatan kerja dan nilai tambah industri.

Pentingnya manufaktur

Menurut perhitungan CORE agar tidak masuk dalam jebakan negara pendapatan menengah Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 7% sampai dengan 2038. Hal ini menjadi tantangan karena 5 tahun terakhir rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5%.

Apabila tren ini berlanjut dalam jangka menengah, maka dipastikan Indonesia akan kena jebakan negara pendapatan menengah. Oleh karena itu pemerintah perlu belajar dari negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan dan China.

Ketiga negara itu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mendorong industri manufaktur. Pilihan menggenjot manufaktur karena karakteristik industri ini bisa menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi, menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak, serta dapat memberika efek spillover pada sektor lainnya.

Sayangnya perkembangan industri manufaktur di Indonesia tidak begitu baik. Memang pemerintah telah melakukan beragam upaya seperti mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk mendongkrak kinerja industri manufaktur dan menyasar permasalahan industri nasional seperti biaya energi, logistik, regulasi hingga ketenagakerjaan.

Namun, paket kebijakan ekonomi ini belum berdampak banyak pada proses reindustrialisasi di Indonesia. Sebaliknya proses deindustrialisasi selama beberapa dekade masih berlanjut. Bahkan pada tahun 2018 pertumbuhan investasi sektor manufaktur mengalami kontraksi hingga 19%.

Oleh karena itu, untuk mendukung proses reindustrialisasi proses implementasi paket kebijakan perlu dipercepat. Disamping itu harmonisasi kebijakan fiskal dan moneter harus selaras.

Selama ini, paket kebijakan insentif fiskal belum banyak termanfaatkan untuk sektor industri. Data menunjukkan, selama tahun 2016–2017 pertumbuhan insentif fiskal untuk sektor manufaktur hanya 2%. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan sektor jasa seperti keuangan misalnya yang tumbuh hingga 7%.

Di sisi moneter, era kebijakan suku bunga rendah telah berakhir, dan pengetatan kebijakan moneter mendorong kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia hingga 175 basis poin selama 2018. Hal ini akan semakin mempersulit turunnya suku bunga kredit untuk sektor manufaktur. Padahal 93% industri di Indonesia berupa industri kecil yang membutuhkan pendanaan kredit perbankan untuk melakukan ekspansi usaha.

Terakhir, yang tidak kalah penting, proses reindustrialisasi harus menjadi tanggung jawab bersama dan tidak semata-mata menjadi tanggung jawab Kementerian Perindustrian. Harus ada, indikator bersama untuk mengukur sejauh mana proses reindustrialisasi telah berjalan.♦

Yusuf Rendy Menilet Peneliti Center of Reform Economics (Core)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi