Jejaring risiko depresiasi rupiah



Pelemahan rupiah yang ekstrem, kemudian diikuti dengan capital outflow besar-besaran, tentu sangat berpotensi memberi efek domino pada berbagai sendi dalam sistem perekonomian nasional pada saat sekarang ini. Sebut saja misalnya kondisi neraca transaksi berjalan bisa semakin memburuk. Lantas akan berbalik menghantam rupiah dengan penurunan yang kian semakin tajam. Bank Indonesia (BI) dan pemerintah boleh-boleh saja meyakini bahwa pelemahan yang terjadi pada rupiah saat ini lebih dipicu oleh faktor eksternal yang sulit terkontrol. Yakni berupa kenaikan yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (US Treasury) dan kekhawatiran terhadap rencana kebijakan The Fed yang direncanakan akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali sepanjang tahun ini, dari rencana awal sebanyak tiga kali.

Oleh karena itu, sangat bisa dipahami mengapa bank sentral sudah mati-matian membuktikan akan menahan rupiah agar tidak terjerembab. Di antaranya dengan melakukan intervensi operasi pasar terbuka di pasar uang dan pasar obligasi (pasar sekunder). Namun, besar kemungkinan, operasi kembar yang gencar dilakukan Bank Indonesia belum bisa meluluhkan kedigdayaan dolar AS yang begitu perkasa. Dengan imbal hasil 2,9% dan risikonya yang lebih rendah, US Treasury acapkali dianggap masih lebih menggiurkan dibanding instrumen investasi di dalam negeri.

Ambil contoh seperti saham, surat berharga negara (SBN), atau deposito. Apalagi kenaikan yield dan suku bunga di AS didorong pula oleh peningkatan optimisme investor terhadap prospek ekonomi negara tersebut seiring membaiknya berbagai data ekonomi negeri Paman Sam dan mulai menurunnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.


Melihat gelagatnya, ada kemungkinan dolar AS ke depan akan bertambah kuat. Kemungkinan tersebut cukup beralasan, terutama jika dikaitkan dengan besarnya utang luar negeri (baik pemerintah maupun swasta) serta masih besarnya repatriasi atau pembayaran dividen perusahaan-perusahaan multinasional di Indonesia.

Para importir adalah lapis pertama yang menghadapi ujian depresiasi rupiah. Importir membeli barang menggunakan dolar AS. Tidak bisa tidak, para importir harus mengeluarkan biaya lebih besar akibat apresiasi dolar AS terhadap mata uang kita ini. Yang membengkak bukan hanya pada biaya pembelian saja, tapi juga untuk ongkos pengapalan, asuransi, dan sejenisnya.

Para importir akan mengalami pukulan dua kali jika mereka menjual barangnya di dalam negeri menggunakan rupiah. Hal yang sama terjadi bila para importir kemudian mengekspor barang ke negara-negara yang sedang mengalami pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS. Apakah itu berarti para eksportir akan berpesta pora saat rupiah terdepresiasi secara tajam? Tidak selalu.

Dalam kondisi nilai tukar yang bergejolak atau sangat berfluktuasi, para eksportir justru kerepotan karena mereka sulit menentukan estimasi harga jual produknya. Apalagi sebagian besar bahan baku harus diimpor. Bukan cuma importir dan eksportir yang terkena imbas pelemahan rupiah. Para pengusaha secara keseluruhan pun terkena dampaknya. Kesulitan dalam menetapkan rencana bisnis bila kurs terus berubah-ubah adalah salah satu risiko bisnis yang harus ditanggung. Terlebih lagi bila kalkulasi dolar AS selalu muncul dalam setiap kegiatan dan hitungan bisnis.

Mencontoh Thailand   Di sisi lain, pelemahan rupiah bahkan bisa saja berimbas ke sektor perbankan. Kalangan bankir harus berupaya keras melindungi nilai (hedging) dana pihak ketiga (DPK) agar tidak keluar atau berpindah ke instrumen lain di luar perbankan demi mengejar dolar AS yang memberikan imbal hasil (yield) yang lebih tinggi dibanding rupiah. Salah satu perlindungan yang diberikan bankir adalah menaikkan biaya dana (cost of fund).

Dari perbankan lantas akan merembes ke pasar modal, khususnya pasar saham. Bila rupiah terus tergerus, investor di pasar modal akan mengalihkan (switching) dananya ke dolar AS di pasar uang atau ke instrumen lain yang menjanjikan hasil pengembalian investasi (return) yang lebih besar. Tak pelak, pasar saham domestik akan terguncang bila terjadi switching besar-besaran dari saham ke instrument investasi lain. Dan tekanan tersebut akan berlipat dua jika investor asing memindahkan dananya ke luar negeri.

Terakhir, jika rupiah terus menukik tajam, utang Indonesia akan bertambah tanpa menarik utang secara riil. Jumlah utang dalam dollar AS tetap sama, tapi jumlah rupiah yang dibutuhkan untuk membayar utang tersebut tentu akan bertambah. Lihat saja data dari Kementerian Keuangan (Kemkeu). Utang pemerintah Indonesia bertambah sebesar Rp 10,9 triliun akibat efek dari pelemahan nilai tukar rupiah yang hampir menembus Rp 14.000 per dollar AS. Dengan kenaikan tersebut, total outstanding utang pemerintah Indonesia menjadi sekitar Rp 4.147,29 triliun dibanding posisi per Maret 2018 yang tercatat sebesar Rp 4.136,39 triliun.

Jika dihitung dengan asumsi produk domestik bruto (PDB) Indonesia senilai Rp 13.891,15 triliun, maka utang pemerintah sebesar Rp 4.147,29 triliun, atau setara dengan rasio 29,86% terhadap PDB nasional. Rasio utang tersebut naik dibanding realisasi per akhir Maret yang sebesar 29,78% dari PDB. Memang, jika diamati rasio utang 29,86% masih di bawah ambang batas Undang-Undang (UU) Keuangan Negara, yakni tidak melebihi dari 60% dari PDB nasional. Namun bila dilihat secara riil, Indonesia tidak menikmati kenaikan utang tersebut.

Jadi saya kira, ada baiknya Bank Indonesia dan pemerintah tidak terpaku pada langkah-langkah yang serba biasa. Perlu langkah terobosan untuk membuat rupiah kembali menguat. Bila kenaikan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) tidak memberikan dampak buruk terhadap perekonomian ke depan, BI bisa menaikkan setidaknya 25 basis poin (bps) dari saat ini yang masih bertengger di level 4,25%. Kemudian bila rupiah sudah menguat tajam dan stabil, BI 7-DRRR bisa diturunkan kembali. Lalu tak ada salahnya pula jika BI dan pemerintah menjajaki penerapan kontrol devisa terbatas, dengan menahan devisa hasil ekspor (DHE) atau menahan modal asing yang diinvestasikan di instrumen portofolio, untuk jangka waktu tertentu. Dengan menahan dolar lebih lama, rupiah akan lebih stabil dan terjaga. Sampai saat ini, Thailand adalah contoh negara yang berhasil menerapkan kebijakan tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi