Jelang 2023, Ekonom Minta Insentif untuk Industri Menufaktur Segera Diterapkan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun depan, pemerintah akan menerapkan sejumlah kebijakan baru. Para ekonom berharap kebijakan baru tersebut bisa bermanfaat khususnya bisa menjaga pemulihan ekonomi Indonesia.

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) mencontohkan, terkait rencana pemberian insentif pajak untuk sektor manufaktur. Ia berharap insentif ini dapat segera di realisasikan pada awal tahun depan, karena industri tersebut benar-benar membutuhkan keringanan pajak.

“Industri manufaktur butuh keringanan pajak dengan syarat yang lebih selektif. Misalnya pemberian keringanan pajak untuk sektor berorientasi ekspor atau industri yang tercatat sudah lakukan (Pemutusan Hubungan Kerja) PHK,” tutur Bhima kepada Kontan.co.id, Rabu (28/12).


Dia mengatakan, dengan mengalokasikan belanja pajak yang lebih tepat sasaran, kinerja industri manufaktur diharapkan tetap tumbuh di atas 4,5% sampai dengan 4,8% pada tahun depan.

Sebab, jika industri manufaktur bisa tumbuh lebih optimal, maka ujungnya akan berdampak positif bagi penerimaan pajak. Ini karena sebanyak 30% kontribusi pajak disumbang dari industri manufaktur.

Baca Juga: Sejumlah Kebijakan Pemerintah dan BI yang Mulai Diterapkan pada 2023

Sayangnya, rencana pemberian insentif ini belum benar-benar diputuskan oleh pemerintah. Keputusannya masih terus dibahas di internal pemerintahan, dengan memastikan situasi geopolitik di 2023, begitupun dengan kondisi perekonomian Indonesia.

Kemudian, terkait kebijakan relaksasi kredit oleh Bank Indonesia yang berlaku di 2023. Bhima berpandangan, relaksasi kebijakan kredit konsumsi dan kebijakan tarif transfer antar bank yang lebih murah akan dorong konsumsi rumah tangga dan penjualan eceran lebih solid di 2023.

“Tapi kebijakan yang tetap utama adalah menjaga inflasi lebih rendah dari tahun 2022. Selama inflasi bisa ditekan kembali ke level 3% sampai 4% maka bauran kebijakan fiskal moneter akan efektif menunjang pemulihan daya beli masyarakat,” jelasnya.

Relaksasi kartu kredit tersebut diantaranya, perpanjangan relaksasi bayar minimal, tingkat suku bunga kredit, hingga batas bayar denda.

Masa berlaku kebijakan batas minimum pembayaran oleh pemegang kartu kredit sebesar 5% dari total tagihan resmi diperpanjang. Semula BI menetapkan 31 Desember 2022 sebagai batas pembayaran, lalu diperpanjang hingga 30 Juni 2023.

Selain itu, batas bayar denda keterlambatan pembayaran kartu kredit maksimal 1% atau Rp 100.000 berlaku hingga 30 Juni 2023. BI juga bakal mempertahankan batas maksimum suku bunga kartu kredit sebesar 1,75% per bulan.

Baca Juga: Menperin: Pemerintah Akan Memberikan Insentif untuk Pembelian Bus Listrik

Kemudian, BI juga memperpanjang masa berlaku Merchant Discount Rate (MDR) QRIS untuk merchant kategori Usaha Mikro (UMI) sebesar 0% dari semula 31 Desember 2022 menjadi 30 Juni 2023.

Selanjutnya, BI juga akan melanjutkan masa berlaku kebijakan tarif SKNBI sebesar Rp 1 dari Bank Indonesia ke bank dan maksimum Rp 2.900 dari bank kepada nasabah dari semula 31 Desember 2022 menjadi 30 Juni 2023.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga menilai, relaksasi kartu kredit dengan batas minimum pembayaran dan denda akan lebih menyasar pada masyarakat kelas menengah ke atas.

Dia mengatakan, di Indonesia sendiri kelas menengah ke atas merupakan kelas yang dominan dalam pembentukan konsumsi rumah tangga sehingga harapannya dengan adanya kebijakan relaksasi di tersebut bisa memberikan stimulan kepada masyarakat di kelas tersebut, untuk melakukan konsumsi yang lebih besar, dan bisa mendorong konsumsi rumah tangga secara keseluruhan.

Yusuf juga sepakat, insnetif pajak untuk sektor manufaktur baik rencana pemberian insentif kendaraan listrik perlu segera diterapkan. Hal ini untuk mendorong agar pelaku usaha mau melakukan investasi di sektor-sektor tersebut.

“Kita tahu bersama sektor manufaktur merupakan salah satu sektor atau lapangan usaha yang kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) paling besar sehingga ketika sektor ini bergeliat maka sudah pasti juga akan ikut mempengaruhi dinamika perekonomian di tahun depan,” kata Yusuf.

Baca Juga: Dukung Electric Vehicle, Menko Airlangga Dorong Investasi Industri Otomotif

Meski begitu, Yusuf menilai terdapat kebijakan pemerintah di 2023 yang justru akan menggerek inflasi. Misalnya saja kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang sebesar 10% dan juga cukai elektrik sebesar 15%.

“Padahal kita tahu bahwa di tahun depan potensi inflasi yang relatif masih tinggi masih akan terjadi seiring dengan proses pemulihan ekonomi yang masih terjadi dan faktor ketidakpastian ekonomi global yang berpotensi mendorong harga komoditas tertentu meningkat,” jelasnya.

Peningkatan komoditas tersebut, kata Dia, bisa bertransmisi terhadap kenaikan inflasi di dalam negeri. Sehingga jika faktor inflasi ini signifikan dan inflasi tahun depan berada di atas target yang diperkirakan oleh pemerintah, maka akan memberikan dampak buruk bagi konsumsi rumah tangga dan pada muaranya akan berdampak perekonomian.

“Selain itu juga akan berdampak yang lebih spesifik ke kelas tertentu. Artinya kelas menengah ke bawah berpotensi lebih tertekan ketika inflasi berada pada level yang relatif masih tinggi,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari