Jelang akhir tahun, bos mebel ragu kinerja ekspor



Jakarta. Industri mebel menangguk harapan besar ke ekspor. Ketika penjualan dalam negeri digempur oleh pemain asing justru pemain lokal ingin meraih celah di negeri orang.

Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) mendorong pelaku industri untuk meningkatkan jumlah ekspor. Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi & Hubungan Antar Lembaga HIMKI, Abdul Sobur menargetkan tahun ini bisa mencapai angka ekspor US$ 2,1 miliar. Namun kondisinya saat ini baru terjual US$ 1,3 miliar-US$ 1,4 miliar.

"Bila tercapai US$ 2 Miliar saja kami akan gelar tumpengan," kata Abdul saat dihubungi KONTAN Minggu (23/10).


Menurutnya hal itu sedikit meleset dari target internal yang harusnya pada Oktober ini bisa mencapai US$ 1,5 miliar. Namun lewat pameran internasional di Shanghai, China dan di Jerman beberapa saat lalu diharapkan bisa dongkrak penjualan.

Abdul mengatakan biasanya realisasi dari pameran tersebut bisa tertunda 1-2 bulan sehingga baru keliatan di akhir tahun. "Akhir tahun kami juga jajaki pameran di negara lain jadi diharapkan bisa mencapai angka target," kata Abdul.

Dalam 2019, sebenarnya HIMKI punya target ekspor hingga US$ 5 miliar pada 2019. Dengan komposisi US$ 3,5 miliar dari industri mebel dan US$ dari 1,5 miliar dari industri kerajinan.

Artinya per tahun pertumbuhan harus bisa mencapai kenaikan 15%. Sementara saat ini baru 4%.

Namun untuk menggenjot penjualan ekspor tersebut pemain lokal mesti bisa bersaing dengan negara Asia lain seperti Cina dan Vietnam yang punya harga jual lebih rendah. Menurut HIMKI, regulasi dan infrastrutkur negara lain sudah jauh lebih siap sehingga bisa membuat daya saing lebih kompetitif.

Abdul mengatakan target tersebut memang ambisius namun sebenarnya bisa tercapai bila hambatan regulasi yang dari pemerintah bisa dikurangi. Seperti HIMKI mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menghapus mekanisme sertifikasi Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) untuk barang jadi seperti furnitur.

Menurutnya hal tersebut memberatkan beban biaya produksi sehingga tidak bisa membuat efisien pelaku industri. Hambatan juga berasal dari bunga bank yang masih tinggi, yaitu sekitar 11,5%, jauh lebih tinggi dibandingkan China 1,8%. "Negara tetangga seperti Singapura saja setengahnya kita," kata Abdul.

Perkembangan industri furnitur nasional mengalami kemajuan dalam beberapa tahun terakhir. Dari data Kementerian Perindustrian, secara total pada tahun 2013, nilai ekspor furniture kayu dan rotan nasional mencapai US$ 1,8 miliar dan meningkat menjadi US$ 1,9 miliar tahun 2014. Sedangkan tahun 2015 menjadi US$ 2 miliar.

Sementara di dalam negeri sendiri, HIMKI punya hitungan-hitungan omzet per tahun bisa mencapai Rp 6 triliun yang bisa dicuil dari pemain industri dalam negeri.

Namun kedatangan pemain asing seperti Informa dan IKEA membuat kompetisi makin berat karena mereka punya modal tinggi dan harga jual yang kompetitif dibanding lokal. "Kondisi penjualan dalam negeri ini 50% dikuasai asing dan sisanya pemain lokal," kata Abdul.

Salah satu pemain di industri mebel yakni PT Chitose International Tbk justru lebih memilih untuk fokus di dalam negeri. Fadjar Swatyas, Direktur merangkap Sekretaris Perusahaan PT Chitose International Tbk mengatakan dengan makin banyaknya pemain membuat harus pandai memilih segmen jual.

Emiten berkode dagang CINT di Bursa Efek Indonesia ini fokus mengincar pasar pendidikan, rumah sakit dan pemerintahan. "Kalau pemain asing banyak retail besar atau perumahan," kata Fadjar saat dihubungi KONTAN Minggu (23/10).

Untuk ekspor, CINT lebih menjaga penjualan utama di Jepang disusul Singapura dan Malaysia. CINT berharap penjualan ekspor bisa 10% di tahun ini.

CINT pun masih menargetkan penjualan tahun ini bisa naik 7% dari tahun lalu yaitu Rp 336,5 miliar. Dengan rincian ekspor Rp 15 miliar, penjualan business to customer Rp 5,5 miliar, proyek Rp 26 miliar, dan regular bisnis Rp 290 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto