KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Jelang pemberlakukan kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pada 1 Januari 2025, penolakan masih terus bergulir di kalangan masyarakat. Walaupun pemerintah telah mengumumkan bahwa tarif PPN 12% akan tetap diterapkan, warganet tetap menunjukkan protesnya melalui petisi online. Petisi berjudul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" yang diinisiasi oleh kelompok Bareng Warga di platform Change.org, telah mengumpulkan 194.772 tanda tangan sejak pertama kali dibuat pada 19 November 2024 hingga berita ini diturunkan.
Petisi ini mencerminkan keresahan banyak pihak terhadap kebijakan yang dianggap akan memberatkan, terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke bawah.
Baca Juga: Lebih dari 5.000 Orang Teken Petisi Tolak PPN 12% Menurut Bareng Warga, salah satu penggagas petisi, kenaikan tarif PPN 12% diperkirakan akan mendorong lonjakan harga barang dan jasa. Hal ini, menurut mereka, akan semakin menggerus daya beli masyarakat yang sudah terbebani oleh kondisi ekonomi saat ini. "Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas," tulis Akun Bareng Warga, dikutip Kamis (26/12). Penolakan ini mencerminkan keresahan terkait dampak langsung kebijakan PPN 12% terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat, yang dipandang akan memperburuk daya beli dan memperlebar kesenjangan ekonomi. Meskipun pemerintah telah berjanji akan memberikan beberapa insentif untuk meringankan beban, seperti pembebasan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok, petisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih merasa kebijakan tersebut akan menambah kesulitan. Hingga saat ini, petisi penolakan ini masih terus mendapat perhatian dari berbagai kalangan, yang berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan yang dirasa memberatkan bagi banyak pihak.
Baca Juga: Ribuan Warga Teken Petisi Tolak PPN 12%, Ditjen Pajak Buka Suara Sebelumnya, Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menilai kebijakan PPN 12%berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi di Indonesia, terutama karena PPN dianggap lebih regresif dibandingkan Pajak Penghasilan (PPh), yang membebani orang miskin lebih berat daripada orang kaya. "PPN lebih bersifat regresif karena dibayarkan saat pendapatan dibelanjakan untuk barang dan jasa dengan tarif tunggal terlepas berapapun tingkat pendapatan konsumen. Karena itu setiap kenaikan tarif PPN akan berimplikasi pada kesenjangan yang semakin tinggi,” ujar Yusuf. Berdasarkan data estimasi pengeluaran rumah tangga tahun 2023, meski tarif PPN masih 11%, beban pajak yang ditanggung oleh konsumen miskin mencapai 5,56% dari pengeluaran mereka, sementara konsumen kelas atas hanya menanggung 6,54%. Oleh karena itu, beban PPN yang hampir merata ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif menjadi 12% akan semakin menekan daya beli kelompok miskin dan menengah.
Baca Juga: Petisi Tolak PPN 12% Ditandatangani Lebih dari 150.000 Warganet Simulasi Next Policy juga menunjukkan bahwa beban PPN terbesar justru ditanggung oleh kelas menengah. Dari total beban PPN sekitar Rp 294,2 triliun pada 2023, sekitar 40,8% atau Rp 120,2 triliun dibayar oleh kelas menengah, yang hanya mencakup 18,8% dari total jumlah penduduk.
"Kelas menengah yang sudah mengalami tekanan ekonomi besar akan semakin tergerus oleh kebijakan ini," kata Yusuf.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat