Jelang Pilpres 2024 Banyak Koruptor Bebas, Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembebasan beberapa terpidana korupsi atau koruptor dalam beberapa hari terakir turut menjadi keprihatinan berbagai kalangan.

Bahkan ada kecenderungan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) DPR dan DPD RI maupun Pemilihan Presiden 2024 tindak pidana korupsi bukan lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa.

Pakar hukum Denny Indrayana mengungkapkan hal ini Kamis (8/9) melalui pernyataan tertulis dari Melbourne Australia. 


Denny menyebut pembebasan para koruptor dari bui ini merupakan hasil dari Trisula Pembunuh Pemberantasan Korupsi.

Baca Juga: Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah Bebas Bersyarat

Adapun Trisula Pembunuh Pemberantasan Korupsi ini meliputi

Pertama, pembatalan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 pada tahun 2021 "Ini adalah salah satu trisula pembunuh pemberantasan korupsi kita," katanya. 

Sebagai catatan, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengatur Tentang Perubahan Kedua atas PP No 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang pada intinya adalah mengetatkan pemberian hak-hak napi korupsi seperti remisi dan pembebasan bersyarat.

Pembatalan PP 99 tahun 2012 diawali setahun lalu melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 41 tahun 2021. Putusan MK tersebut membuka pintu lebar-lebar bagi Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor 28P/HUM/2021 yang menyatakan pasal-pasal “pengetatan remisi” PP 99 bertentangan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Baca Juga: Masa pidana Ratu Atut bertambah 5,5 tahun

Trisula pembunuh penindakan korupsi kedua adalah tindakan melumpuhkan dan membunuhnya efektivitas kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 

Amputasi KPK ini dilakukan oleh pemerintah dan DPR melalui perubahan UU KPK pada tahun 2019. Denny menilai dengan perubahan UU tersebut, KPK kehilangan independensinya dan berada di bawah kendali politik lembaga kepresidenan, dan rentan dengan agenda non-hukum. 

"Termasuk menjadi salah satu alat strategi pemenangan Pilpres 2024," katanya. 

Sedangkan trisula ketiga adalah kembalinya rezim diskon dan pemotongan hukuman oleh Mahkamah Agung pasca wafatnya Hakim Agung Artidjo Alkostar.

Seperti kita tahu Kementerian Hukum dan HAM pekan ini telah membebaskan beberapa koruptor seperti Pingangki Sirna Malasari, mantan jaksa yang membantu kaburnya pelaku korupsi Djoko Tjandra dengan upah sekitar US$ 500.000. Pinangki mendapatkan hukuman 10 tahun penjara, tapi dalam sidang banding mendapatkan korting menjadi 4 tahun dan cukup menjalani hukuman 1 tahun 1 bulan hingga dibebaskan pada awal pekan ini.

Selain itu ada juga Ratu Atut, mantan gubernur Provinsi Banten yang terjerat kasus korupsi alat kesehatan dan penyuapan Ketua MK Akhil Muhtar. Atut telah menjalani hukuman selama 7 tahun penjara. 

Baca Juga: Zumi Zola resmi dicopot dari jabatan Gubernur Jambi   Sementara Mantan Gubernur Jambi Zumi Zola yang di vonis pada 2018 dengan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 6 bulan juga bebas. Padahal Zumi Zola juga terjerat dalam dua kasus yakni menerima duit korupsi dan menyogok anggota DPRD.

Koruptor lain yang bebas merdeka diantaranya adalah Patrialis Akbar, mantan Hakim Mahkamah Konstitui 2013-2017, dan Surya Dharma Ali, mantan Menteri Agama.

Pekan ini Kementerian Hukum dan HAM mencatat setidaknya ada 23 koruptor yang dinyatakan bebas, maupun bebas bersyarat.

Karena itulah Denny Indrayana berpendapat tiga trisula pembunuh “pemberantasan korupsi” tersebut, menyebabkan korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa, dan Indonesia sebagai negara kembali menjadi surga bagi para pelaku korupsi. Perjuangan kita membebaskan diri dari korupsi akan kembali terjal dan mendaki. 

Baca Juga: 22 terpidana korupsi bakal bebas karena corona, Setya Novanto hingga OC Kaligis

Denny menyitir menjelang Pilpres 2024, demokrasi sebagai kedaulatan rakyat berpotensi dibajak oleh kekuatan modal atau daulat uang yang ia istilahkan dengan "duitokrasi". 

"Pemodal kuat alias Oligarki Koruptif, akan berusaha melindungi kepentingan bisnisnya dengan menghadirkan presiden yang menang bukan karena pilihan rakyat, tetapi karena pilihan dan kekuatan uang semata," katanya.

Menurut pandangan Denny  fenomena pembebasan bersyaratnya para koruptor dalam beberapa hari terakhir ini bukan mengagetkan lagi. 

Ia menceritakan, upaya koruptor untuk membuka kunci “obral dan jual-beli remisi” atau diskon putusan dengan melakukan uji materi ke MK bukan kali ini saja. Sebab semasa dirinya menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia upaya pencabutan PP ini datang silih berganti.

"Dalam putusan-putusan sebelumnya, baik MK maupun Mahkamah Agung konsisten menyatakan bahwa PP pengetatan remisi tersebut tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya, dan sejalan dengan politik hukum pemberantasan korupsi yang luar biasa," katanya. 

Sayangnya, pertahanan MK dan MA tersebut jebol juga dengan gempuran tanpa henti para koruptor. Pembatalan PP 99 mengembalikan rezim obral remisi yang menghamparkan karpet merah kebebasan serta menghilangkan efek jera bagi para koruptor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Syamsul Azhar