Jepang akan perluas kesempatan kerja bagi pekerja kerah biru migran



KONTAN.CO.ID - TOKYO. Perdana Menteri Shinzo Abe hari ini, Jumat (2/11) menyetujui rancangan undang-undang untuk memperluas kesempatan kerja bagi buruh alias pekerja kerah biru migran di sektor-sektor kerja yang sedang mengalami kekurangan sumber daya manusia. Otomatis ini jadi kebijakan imigrasi Jepang yang kontroversial.

Perdebatan soal kebijakan imigrasi ini kian memanas terlebih imigrasi jadi persoalan yang telah lama tabu mengingat banyaknya homogenitas etnis di Jepang.

Namun, Jepang dihadapkan pada kenyataan banyaknya generasi tua dan populasi yang kian menyusut.


Meski Partai Demokrasi Liberal Abe was-was, tampaknya parlemen bakal merevisi kebijakan mengingat ketatnya persaingan di pasar tenaga kerja yang terjadi dalam 10 tahun terakhir.

Undang-undang yang direvisi akan menghadirkan dua kategori visa baru bagi orang-orang asing di sektor-sektor yang kekurangan tenaga kerja.

Meski tidak disebutkan berapa jumlah yang diperlukan, tampaknya akan banyak tenaga kerja yang dibutuhkan di sektor pertanian, konstruksi, hotel hingga perawat.

Menteri Kehakiman Jepang Takashi Yamashita menolak menyebutkan berapa angka yang dibutuhkan untuk mengisi kekurangan tenaga kerja di Jepang, dilansir dari pemberitaan Reuters, media menyebutkan setidaknya ada 500.000 pekerja yang dibutuhkan dalam beberapa waktu ke depan.

Angka ini naik 40% dari 1,28 juta pekerja asing yang saat ini menguasai 2% angkatan kerja di Jepang.

Pekerja di kategori visa pertama diharuskan memiliki tingkat keterampilan dan kemampuan bahasa Jepang tertentu. pekerja ini juga tidak diizinkan untuk membawa anggota keluarganya untuk tinggal di Jepang hingga lima tahun.

Sedangkan, untuk pekerja di kategori visa kedua diharuskan memiliki keterampilan lebih tinggi dibandingkan yang pertama. Serta pekerja kategori ini diperbolehkan membawa anggota keluarganya sekaligus dapat tinggal di Jepang.

Sebenarnya, Jepang telah terbuka menerima pekerja migran namun hanya fokus pada pekerja profesional dan pekerja terampil.

Untuk buruh, sebagian besar pengusaha menerapkan sistem trainee teknis yang biasanya merupakan mahasiswa asing yang bekerja paruh waktu. Bahkan kritik yang beredar mengatakan sistem ini cenderung disalahgunakan.

Ujungnya, anggota parlemen Partai Demokrasi Liberal menandatangani RUU setelah melewati perdebatan yang panas. Selain itu timbul pula kekhawatiran di kemudian hari akan adanya tindak kejahatan maupun efek negatif dari sistem upah imbal dari semakin diperluasnya kesempatan kerja bagi buruh migran.

Editor: Herlina Kartika Dewi