KONTAN.CO.ID - TOKYO. Tokyo menerima banyak kritik dari kelompok-kelompok pemerhati lingkungan karena lambannya respons atas kebocoran minyak dari kapal Wakashio yang mengalami kecelakaan pada bulan Juli lalu. Pada tanggal 10 Agustus, empat hari setelah minyak mulai bocor dari kapal Wakashio, Jepang mengirimkan enam anggota tim bantuan, tetapi pemerintah Jepang dinilai menunjukkan sikap biasa saja atas insiden tersebut. "Pemerintah Jepang tampaknya bersikap defensif, mungkin karena kekhawatiran klaim ganti rugi," ungkap Kanna Mitsuta, direktur eksekutif dari NGO Friends of the Earth Japan, seperti dikutip dari
Japan Times. Kanna mengatakan bahwa Jepang sebenarnya tidak memiliki tanggung jawab secara hukum atas insiden tersebut karena kapal pembawa minyak berbendera Panama.
Baca Juga: Menteri Pertahanan AS dan Jepang segera bertemu, bahas ancaman China dan Korea Utara Tetapi, pada kenyataannya kapal tersebut adalah milik Jepang, karena dioperasikan dan dimiliki oleh perusahaan pelayaran Jepang. Kanna juga mengatakan Jepang harusnya bisa berperan aktif karena sudah memiliki berbagai pengalaman dan keahlian dalam menangani kecelakaan di laut. Kapal Wakashio yang dimiliki oleh Nagasaki Shipping Co. dan dioperasikan oleh Mitui OSK Lines Ltd., membawa total sekitar 3.800 ton bahan bakar minyak dan 200 ton solar ketika kandas di dekat Pointe d'Esny pada tanggal 25 Juli lalu. Saat itu kapal Wakashio sedang dalam perjalanan ke Brasil dari China dan melewati Singapura. Kebocoran minyak mulai terjadi pada tanggal 6 Agustus ketika salah satu dari lima tangki besar mengalami keretakan. Mitsui OSK mengatakan lebih dari 1.000 ton minyak telah bocor dari kapal tersebut. Sampai saat ini berbagai upaya terus dilakukan untuk menahan tumpahan minyak agar tidak mencemari ekosistem laut di wilayah Mauritius.
Baca Juga: Tokyo sediakan toilet umum transparan, ternyata ada maksud khusus di baliknya Insiden tersebut merupakan pukulan yang berat bagi Mauritius yang benar-benar bergantung pada industri pariwisata pantainya. Belum lagi saat ini pariwisata sedang sepi akibat pandemi.
Sejumlah ahli kini mulai khawatir akan respons lambat semua pihak yang terkait. Mereka mengatakan bahwa pemulihan perairan tersebut bisa membutuhkan waktu puluhan tahun. Sejak tanggal 7 Agustus lalu, Mauritius mengumumkan keadaan darurat lingkungan. Negara kecil ini juga menyampaikan kemungkinan adanya dampak kepunahan pada sejumlah hewan seperti burung endemik dan penyu laut. Pemerintah Jepang pada hari Rabu (19/8), mengirim tim bantuan bencana untuk yang kedua kalinya ke Mauritius yang terdiri dari tujuh anggota. Anggota yang dikirim termasuk pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Institut Nasional untuk Studi Lingkungan, bertugas untuk membantu membersihkan minyak serta mengatasi kerusakan lingkungan.