Jerman Ambil Alih Kursi Presiden Dewan Uni Eropa, yang Terakhir bagi Merkel



KONTAN.CO.ID - DW. "Tentu tidak berlebihan untuk disampaikan bahwa kita tengah menghadapi tantangan ekonomi terbesar dalam sejarah Uni Eropa,” kata Merkel baru-baru ini, mengetahui bahwa tugas enam bulanan Jerman sebagai presiden Dewan Uni Eropa (UE) telah dimulai pada 1 Juli.

Banyaknya permasalahan yang perlu diselesaikan oleh blok, ditambah persoalan Merkel yang tidak akan mencalonkan diri kembali sebagai kanselir tahun depan, sejatinya telah tampak sebagai sebuah mission impossible atau misi mustahil.

UE harus berhadapan dengan pandemi COVID-19 yang kini telah merongrong ekonomi dunia, dan dalam waktu yang bersamaan juga berusaha menyalakan kembali antusiasme proyek-proyek kerja sama di Eropa.

Jika semua berjalan sesuai jadwal, yang tentu saja tidak bisa dijamin, maka Brexit alias keluarnya negara ekonomi terbesar ketiga Uni Eropa akan diselesaikan di bawah kepemimpinan Jerman.

Bagi Merkel, Eropa sejatinya tidak pernah benar-benar menjadi zona nyaman. Di Jerman, ia kadang-kadang dibandingkan dengan Helmut Kohl, kanselir pendahulunya dari partai CDU.

Keyakinan Kohl pada proyek kerja sama Eropa terpupuk lewat penderitaannya kehilangan paman dalam Perang Dunia I dan kakak laki-laki dalam Perang Dunia II. Baginya, memperkuat kerja sama antarnegara Eropa dan mengubah musuh menjadi teman adalah hasrat pribadi.

Hal itu terbukti lewat persahabatan pribadi yang ia jalin dengan mantan Presiden Prancis Francois Mitterand yang berhaluan kiri tengah. Sementara Kohl adalah seorang konservatif. Puncak dari kerja sama keduanya berperan dalam meletakkan dasar untuk mata uang tunggal Eropa, euro.

Merkel bergabung dengan UE di tahun 90-an

Enam bulan ke depan akan menjadi tugas kedua dan terakhir Merkel dengan Jerman sebagai pemegang jabatan presiden bergilir Dewan. Kepemimpinan Merkel yang pertama terjadi di paruh awal tahun 2007, tepat sebelum krisis keuangan global terjadi.

Pada 17 Januari 2007 silam, saat baru menjabat di Jerman, Merkel sempat menyinggung biografinya sendiri ketika berbicara di hadapan Parlemen Eropa.

"Saya telah menghabiskan seluruh hidup saya di Eropa. Namun, di Uni Eropa, saya masih tergolong muda karena saya dibesarkan di bekas Jerman Timur,” kata Merkel. "Jadi, sampai saya berusia 35 tahun, saya hanya tahu Uni Eropa sebagai orang luar, dan sejak 1990 baru saya mengenalnya sebagai orang dalam,” tambahnya.

‘Beruntung dipersatukan di UE'

Beberapa minggu kemudian, dalam sebuah acara yang menandai peringatan 50 tahun Perjanjian Roma - secara efektif dikenal sebagai dokumen landasan berdirinya UE - Merkel juga muncul memberikan komentar yang kemudian menjadi tema berulang dari pidato kepemimpinannya sebagai kanselir.

"Kita warga Uni Eropa beruntung telah dipersatukan,” kata Merkel.

Meskipun tema ini berulang-ulang ia sampaikan, Merkel sejatinya tidak pernah benar-benar mengusahakan reformasi menyeluruh atau pembenahan di dalam blok.

Tidak peduli siapapun dari empat presiden Prancis yang pernah menjabat saat Merkel memimpin Jerman, ia tidak pernah berani mencapai kebangkitan Eropa dalam menentang populisme dan meningkatnya euroskeptisisme.

Tiga tahun lalu ketika Emmanuel Macron terpilih sebagai presiden, beberapa pihak di Jerman mengharapkan adanya dorongan besar-besaran atas upaya Prancis-Jerman melakukan reformasi. Macron dilaporkan telah mengunjungi Berlin beberapa kali saat kampanye, berpidato di universitas-universitas. Bahkan tokoh-tokoh penting dari Partai Demokrat Sosial turut bergabung di kursi audiens, namun politisi CDU lebih jarang terlihat.

Janji kampanye Macron sejatinya memancarkan visi dan optimisme. Namun tidak banyak yang terjadi. Merkel tak menggubris tawaran-tawaran tersebut.

Namun, ketika krisis melanda di tahun 2020, Merkel justru tampak dinamis dan tegas lagi. Seolah-olah aksi yang ia lakukan didorong oleh keretakan yang muncul dalam struktur UE, saat negara-negara anggota menutup perbatasan akibat krisis corona, dan melihat bangkitnya nasionalisme.

Mereka yang dekat dengan kanselir, yang kini berusia 65 tahun itu, mengatakan bahwa Eropa telah menjadi sebuah isu yang "dekat di hatinya”, seperti halnya dengan Kohl.

Dia bahkan membuat konsesi perihal penyatuan hutang negara-negara Eropa dalam menghadapi pandemi. Paket stimulus besar yang ia ajukan bersama Macron pada pertengahan Mei lalu bertujuan untuk membantu negara-negara paling terpukul seperti Italia dan Spanyol, dan untuk pertama kalinya akan didanai dengan penyatuan hutang di seantero Uni Eropa.

Seperti yang disampaikan Merkel dalam konferensi pers bersama Macron, bahwa situasi ekonomi saat ini adalah tantangan "terbesar” dalam sejarah UE, sehingga "krisis seperti itu menuntut respons yang tepat.”

‘Mesin' Prancis-Jerman mulai beraksi?

Pesan yang ingin diutarakan oleh Merkel dan Macron sudah jelas, bahwa "motor” Prancis-Jerman telah sekali lagi menjadi penggerak di Uni Eropa, mendorong kebijakan-kebijakan di blok tersebut ke depan. Terutama di hari-hari awal Uni Eropa yang lebih kecil, tanpa adanya pengaruh dari Inggris.

Anda tidak dapat menemukan monumen yang menjadi lambang persatuan Eropa di Kawasan pemerintahan Berlin. Tetapi ada satu lambang rekonsiliasi antara Prancis-Jerman, yaitu sebuah patung pemimpin pascaperang Charles de Gaulle dan Konrad Adenauer (mantan kanselir CDU lain yang dipuji oleh partainya sebagai bapak pendiri Uni Eropa), yang saling berpegangan. Monumen ini menggambarkan sejarah penting penandatangan pakta persahabatan Prancis-Jerman pada tahun 1963.

"Kami hanya bisa berharap bahwa Prancis dan Jerman menjadi penggerak persatuan Eropa sekali lagi,” kata filsuf Italia-Jerman Vittorio Hösle, yang bekerja sebagai penasihat Helmut Kohl selama menjabat.

Dia memperingatkan bahwa integrasi lebih lanjut diperlukan untuk memastikan hal tersebut terwujud. "Jika langkah lebih lanjut tidak diambil untuk memperdalam persatuan, Uni Eropa bisa runtuh seperti rumah kartu,” katanya memperingatkan.

Di Jerman, Merkel sering dipandang berada dalam elemen politiknya ketika menghadapi krisis, Dengan begitu, tahun 2020 seharusnya tidak mengecewakan baginya, karena tugas terakhirnya adalah membantu mengarahkan kapal Eropa.

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti