JAKARTA. Kebijakan migrasi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ke gas, serta semakin banyaknya industri domestik yang membutuhkan gas, mendorong pemerintah mengetatkan ekspor gas untuk kontrak-kontrak baru. Apalagi, saat ini ekspor gas kita sudah terlampau besar. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik berniat membatasi ekspor gas untuk kontrak-kontrak minyak dan gas yang baru. Sebab, kebutuhan gas di dalam negeri, terutama dari sektor industri, semakin juga meningkat. Apalagi, saat ini pemerintah juga sedang menggalakkan program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) pada sektor transportasi. "Kemarin, sidang kabinet terbatas yang dipimpin Presiden membahas khusus tentang gas," kata Jero
Wacik Jumat (4/5). Menurut dia, dari produksi gas 7.500 juta kaki kubik per hari (mmscfd), yang diekspor mencapai 3.400 mmscfd. "Jadi, kira-kira separuh kurang gas kita diekspor," imbuhnya. Jero mengungkapkan, ekspor gas yang begitu besar tersebut tertuang lewat kontrak-kontrak yang lama. Namun, melihat data dan kenyataan bahwa gas yang ada sangat diperlukan di dalam negeri, Jero berjanji akan sangat berhati-hati untuk memberikan persetujuan kontrak-kontrak jual beli gas yang baru. "Jangan banyak-banyak mengekspor karena industri kita tumbuh pesat sehingga memerlukan gas. Kita prioritaskan untuk domestik," tegas Jero dalam jumpa pers di Kementerian ESDM menjelang akhir pekan tersebut. Dia juga mengungkapkan, cara pengetatan ekspor gas pada kontrak-kontrak baru nanti akan mendorong kebijakan konversi BBM ke gas akan sukses. Sebab, pasokan gas dari lapangan - lapangan gas tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan ekspor. " Pada sektor transportasi, pemerintah akan mempercepat pelaksanaan program konversi BBM ke gas. Di era sekarang, saya akan buktikan, tidak hanya omong doang. Kita do," tegasnya. Siap suplai ke domestik Di sisi lain, sebenarnya, kontraktor migas sudah siap memasok gas yang dibutuhkan dalam negeri. Deputi Pengendalian Operasi Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Rudi Rubiandini bilang, Selasa (8/5) ini akan ada 10 perjanjian jual beli gas (PJB) untuk kebutuhan dalam negeri dengan harga yang sudah disepakati US$ 6 per mmbtu (juta british thermal unit). "Total kontrak baru tersebut sebesar 660 mmbtud," ungkap Rudi.
Kendati sudah siap memasok gas untuk kebutuhan domestik, kata Rudi, ada persoalan krusial yang harus segera diselesaikan, misalnya perihal infrastruktur penyalur gas dari hulu ke end user yang masih minim. Contohnya, dari tiga pengadaan FSRU yang harusnya sudah terealisasi kini baru satu FSRU Jawa Barat yang sudah siap, kasus lain misalnya pipa-pipa gas ternyata tidak masuk ke industri strategis, seperti ke Krakatau Steel dan perusahaan pupuk. "Itu , kan, masalahnya di infrastruktur, bukan di supply and demand saja. Nah itu semua harus cepat diselesaikan," anjur Rudi. Walau sebenarnya saat ini pipa gas trans Jawa rencananya akan mengintegrasikan semua jalur pipa gas di Pulau Jawa dalam suatu sistem koneksi. Dengan pola integrasi ini, kebutuhan gas industri-industri di Jawa Serta kebutuhan gas PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bisa dipasok lebih mudah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Edy Can