JAKARTA. Kuasa hukum mantan Ketua Komisi VII DPR RI, Sutan Bhatoegana, berencana menuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan menggagalkan praperadilan bagi Sutan. Kuasa hukum Sutan menganggap tim hukum KPK sengaja membuat skenario agar praperadilan Sutan digugurkan. "Kami bakal tuntut balik KPK. Kami anggap mereka sengaja melakukan rencana jahat," ujar pengacara Sutan, Eggi Sudjana, saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (6/4). Eggi mengatakan, jika praperadilan bagi Sutan digugurkan, ia akan menggugat KPK dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun atau denda paling sedikit Rp 150 juta, dan paling banyak Rp 600 juta."
Jika gugur, kuasa hukum Sutan bakal gugat KPK
JAKARTA. Kuasa hukum mantan Ketua Komisi VII DPR RI, Sutan Bhatoegana, berencana menuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan menggagalkan praperadilan bagi Sutan. Kuasa hukum Sutan menganggap tim hukum KPK sengaja membuat skenario agar praperadilan Sutan digugurkan. "Kami bakal tuntut balik KPK. Kami anggap mereka sengaja melakukan rencana jahat," ujar pengacara Sutan, Eggi Sudjana, saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (6/4). Eggi mengatakan, jika praperadilan bagi Sutan digugurkan, ia akan menggugat KPK dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun atau denda paling sedikit Rp 150 juta, dan paling banyak Rp 600 juta."