Jika Kebijakan Stop Ekspor Nikel Kalah di WTO, Begini Saran Pengamat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia masih dapat menempuh upaya hukum apabila kalah oleh gugatan Uni Eropa dalam sidang di World Trade Organization (WTO). Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi mengatakan, Indonesia dapat mengajukan banding Badan Banding WTO.

“Bila Indonesia kalah maka upaya bandung je Appellate Body atau Badan Banding WTO sebaiknya dilakukan,” ujar Ahmad Redi saat dihubungi oleh Kontan.co.id (9/9).

Seperti diketahui, Indonesia memang tengah menghadapi gugatan Uni Eropa di WTO lantaran memberlakukan larangan ekspor bijih nikel. Beberapa waktu lalu, kekhawatiran akan peluang kalahnya Indonesia atas gugatan Uni Eropa di institusi perdagangan global itu mencuat menyusul komentar Presiden Joko Widodo soal gugatan tersebut. Joko Widodo mengungkapkan, Indonesia berpotensi kalah atas gugatan Uni Eropa di WTO. 


Baca Juga: Jokowi: Pemerintah Indonesia Tidak Gentar Jika Kalah Gugatan di WTO

Menurut Ahmad, putusan WTO atas dalam kasus gugatan Uni Eropa soal kebijakan larangan ekspor bijih nikel Indonesia sangat penting bagi arah kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia. Tidak hanya itu, hal ini menurutnya juga bisa turut berdampak terhadap upaya Indonesia untuk membangun industri baterai listrik.

“Bila keran ekspor dibuka maka Indonesia hanya bisa menjadi negara eksportir bahan mentah saja dan momentum pengembangan industri baterai EV tidak bisa dimainkan secara signifikan oleh Indonesia dalam industri baterai EV (electric vehicle) global,” ujar Ahmad.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy K. Lengkey mengatakan, kebutuhan pasokan bijih nikel di dalam negeri masih berpotensi meningkat. Dalam proyeksi Meidy, jumlah kebutuhan bijih nikel di dalam negeri mencapai 120 juta ton di tahun 2022 dan berpotensi kembali meningkat menjadi 250 juta ton di tahun 2025 mendatang.

Pencabutan larangan ekspor bijih nikel, menurut Meidy, bisa saja berdampak pada kelangsungan pasokan bijih nikel kepada pabrik-pabrik pengolahan nikel di dalam negeri.

“APNI mengkhawatirkan sustainability cadangan bijih nikel untuk memenuhi kebutuhan seluruh pabrik olahan nikel dalam negeri yang akan mencapai 250 juta ton per tahun. Perhitungan APNI, pabrik pirometalurgi yang mengolah bijih nikel kadar tinggi (di atas 1,8%) untuk produksi NPI (nickel pig iron) hanya akan bertahan maksimal 8 tahun,” tutur Meidy kepada Kontan.co.id (9/9).

Meski begitu, Meidy optimistis Indonesia belum tentu kalah dalam menghadapi gugatan Uni Eropa di WTO. Terlebih, Indonesia masih memiliki opsi banding.

Baca Juga: Opsi Pengenaan Pajak Ekspor Nikel Bisa Jadi Strategi RI Keluar dari Gugatan WTO

Masukan APNI, andaikata Indonesia kalah dan terpaksa harus mencabut larangan ekspor, pemerintah sebaiknya membatasi ekspor bijih nikel dengan hanya memperbolehkan ekspor bijih tinggi berkadar tinggi demi menjaga kelangsungan pasokan bijih nikel dalam memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

“70% cadangan (bijih nikel) Indonesia kan itu kadar rendah,” tutur Meidy.

Masukan lainnya, APNI juga menyarankan agar pemerintah memacu investasi hilir untuk mengolah barang jadi alih-alih barang setengah jadi, serta mendukung industri hulu dan hilir nikel dengan melakukan pengawasan ketat atas regulasi dan praktik yang ada.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .