KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kemunculan komputer kuantum dengan kemampuan memecahkan enkripsi modern bisa menjadi bencana besar bagi dunia kripto. Jika teknologi semacam itu aktif hari ini, Bitcoin kemungkinan sudah diserang — tanpa ada yang menyadarinya. “Semuanya akan terlihat seperti akses yang sah,” kata David Carvalho, CEO perusahaan infrastruktur pasca-kuantum Naoris Protocol, kepada Cointelegraph. “Saat Anda berpikir sedang melihat komputer kuantum, sebenarnya ia sudah mengendalikan sistem selama berbulan-bulan,” tambahnya.
Ancaman Nyata dari Dunia Kuantum
Bagaimana Komputer Kuantum Dapat Menembus Bitcoin
Keamanan inti Bitcoin bergantung pada algoritma tanda tangan digital Elliptic Curve Digital Signature Algorithm (ECDSA), diperkenalkan pada tahun 1985. Mekanisme ini memungkinkan pengguna membuktikan kepemilikan aset menggunakan private key, sementara jaringan hanya melihat public key. Dengan algoritma Shor, komputer kuantum yang cukup kuat dapat menghitung private key langsung dari public key — sesuatu yang secara praktis mustahil bagi komputer konvensional. Ini berarti penyerang dapat mengakses dompet Bitcoin mana pun yang public key-nya sudah terekspos di blockchain, termasuk transaksi Bitcoin awal milik para pionir. “Tidak mungkin membuktikan bahwa komputer kuantum melakukannya,” jelas Carvalho. “Anda hanya akan melihat koin berpindah seolah pemiliknya sendiri yang mengirimnya,” katanya Menurut Kapil Dhiman, CEO dan pendiri Quranium — startup layer-1 yang berfokus pada keamanan pasca-kuantum — korban pertama dari serangan semacam ini adalah dompet lama dengan kunci publik yang telah terekspos. “Koin milik Satoshi akan menjadi sasaran empuk,” katanya. “Jika koin-koin itu bergerak, kepercayaan terhadap Bitcoin akan runtuh jauh sebelum sistemnya gagal.” Dalam skenario tersebut, blockchain tetap berjalan seperti biasa. Blok tetap ditambang, transaksi terus dicatat, namun kepemilikan aset berubah tanpa disadari siapa pun.Bitcoin Masih Tertinggal dari TradFi dalam Keamanan Pasca-Kuantum
Sementara lembaga keuangan, jaringan telekomunikasi, dan instansi pemerintah sudah menguji enkripsi pasca-kuantum, sebagian besar blockchain besar masih menggunakan teknologi kriptografi lawas seperti ECDSA. “Semua blockchain telah mengakui kerentanan ini sebagai akar masalah,” ujar Dhiman. Baca Juga: Standard Chartered: Bitcoin Berpeluang Tembus US$200.000 Meski Pasar Bergejolak Berbeda dengan sektor keuangan tradisional, meng-upgrade Bitcoin tidak semudah memperbarui sistem terpusat. Perubahan besar pada algoritma kriptografi memerlukan koordinasi luas antara penambang, pengembang, dan pengguna, yang biasanya memakan waktu bertahun-tahun. Beberapa proposal awal telah diajukan, seperti Bitcoin Improvement Proposal (BIP) 360 dan inisiatif Post Quantum Migration and Legacy Signatures Sunset, yang menawarkan jalur transisi menuju skema tanda tangan tahan-kuantum. Ethereum juga meneliti penggunaan lattice-based signatures dan algoritma lain yang lebih aman terhadap ancaman kuantum, meski belum diterapkan secara nyata.Dunia Keuangan Tradisional Sudah Bergerak Lebih Cepat
Berbeda dengan dunia kripto yang bergantung pada konsensus desentralisasi, lembaga keuangan memiliki kendali terpusat dan anggaran besar untuk beradaptasi lebih cepat. NIST telah menyetujui beberapa algoritma pasca-kuantum; JPMorgan bekerja sama dengan Toshiba menguji quantum-safe blockchain; sementara SWIFT mulai melatih jaringannya untuk menghadapi ancaman kuantum. “TradFi justru lebih maju,” kata Carvalho. “Mereka punya otoritas tunggal yang bisa mendorong pembaruan. Di kripto, semuanya harus melalui konsensus.” Beberapa proyek blockchain baru kini lahir dengan arsitektur yang “quantum-ready” sejak awal.- Naoris Protocol telah disebut dalam proposal independen ke SEC AS terkait standar pasca-kuantum.
- Quranium menggunakan algoritma Stateless Hash-Based Digital Signature Algorithm (HBSDA) yang telah disetujui NIST.
- Quantum Resistant Ledger (QRL) dibangun di atas XMSS hash-based signatures, algoritma tahan-kuantum yang kini menjadi standar NIST.