KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sudah mulai turun, bank belum juga menurunkan bunga kreditnya. Alasan paling kerap muncul adalah kesediaan likuiditas yang masih mahal. Instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) kerap disebut-sebut sebagai penyebab likuiditas di pasar kian mahal. Maklum, imbal hasil yang ditawarkan oleh instrumen milik BI ini memang tergolong tinggi. Dalam lelang terakhirnya di 15 November 2024, imbal hasil yang ditawarkan oleh SRBI untuk tenor 12 bulan mencapai 7,06%. Di mana, total SRBI yang terjual dalam lelang tersebut senilai Rp 20 triliun.
Dengan kondisi tersebut,
Direktur Distribution & Institutional Funding PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Jasmin bilang pihaknya akan menyambut positif jika BI bisa mengurangi instrumen SRBI. Menurutnya, ini akan berdampak pada likuiditas mahal.
Baca Juga: Arus Modal Asing Hengkang Rp 7,42 Triliun dari Pasar Keuangan Indonesia Seberapa besar dampaknya, Jasmin bilang itu akan tergantung pada berapa dana di SRBI yang akan dikurangi. Tentu, semakin besar akan semakin melonggarkan likuiditas. Ia juga mengungkapkan bahwa jika memang pengurangan SRBI bisa dilakukan, maka potensi adanya penurunan bunga kredit perbankan kian terbuka. Namun, perlu diikuti juga dengan penurunan suku bunga acuan lanjutan dari BI. Alhasil, jika suku bunga acuan turun dan BI mengurangi instrumen SRBI-nya, Jasmin bilang hal tersebut akan membantu bank mengurangi biaya dana yang selama ini membebani sehingga bunga kredit bisa turun. “Idealnya kan memang begitu dua hal tersebut sejalan,” ujar Jasmin, Minggu (17/11). Sependapat, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Royke Tumilaar bilang keberadaan SRBI ini menciptakan likuiditas mahal bagi bank. Oleh karenanya, ia berharap BI bisa mengurangi penerbitan SRBI. “Kalau bisa yang jatuh tempo tidak diperpanjang dulu,” ujar Royke. Lebih lanjut, ia juga berpendapat bahwa jika hal tersebut bisa terjadi maka itu akan mempengaruhi likuiditas, tidak hanya untuk BNI tapi untuk perbankan nasional. “Likuiditas dulu baru bunga (kredit) turun,” tegas Royke. Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengungkapkan kondisi likuiditas tercatat tetap ketat lantaran instrumen SRBI terus menawarkan yield tinggi. Di mana, bunga acuan BI juga sudah turun. Oleh karenanya, ia berpendapat pasar kini memiliki pilihan bukan hanya menempatkan dana di produk perbankan yang konvensional, tapi lebih kepada imbal hasil yang dijanjikan lebih tinggi. "Saat ini tren penurunan suku bunga tidak langsung diikuti oleh reaksi pasar karena masyarakat sudah melihat ada channel yang ekspektasi yield lebih tinggi, suku bunga tren turun tapi secara agregat biaya dana semua bank meningkat," ujarnya.
Baca Juga: Pasar Obligasi Asia Bakal Tumbuh Subur, Indonesia Jadi Salah Satu Pendorong Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati