KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Salah satu opsi penyelamatan Garuda Indonesia dari lilitan utang termasuk kredit oleh Kementerian BUMN dengan dengan konversi utang menjadi ekuitas alias
debt to equity swap. Namun, langkah penyelamatan maskapai pelat merah ini bisa memberikan dampak kepada perbankan. Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menyatakan umumnya langkah ini cenderung berisiko lebih tinggi. Lantaran berbeda dengan surat utang yang memiliki jatuh tempo beserta skema yang lebih jelas. “Debt to equity swap berarti kepemilikan saham, itu tidak ada kepastian profitnya. Ini bisa jadi sentimen untuk saham bank terkait, otomatis pendapatnya menurun. Meski harus dilihat lagi besar eksposurnya,” ujar Wawan kepada Kontan.co.id, Kamis (10/6).
Menurutnya, belum tentu ketika melalui skema
debt to equity swap jumlah ekuitas yang diperoleh sama dengan jumlah kredit yang diberikan. Ia menyebut biasanya transaksi konversi kredit menjadi ekuitas ini terjadi di pasar negosiasi bukan di pasar primer.
Baca Juga: OJK: Penyelesaikan kredit dengan skema debt to equity swap diperbolehkan “Ini negosiasi, karena bagi debitur akan menghindari total loss jadi bukan di pasar primer. Biasanya Garuda Indonesia nantinya akan menerbitkan saham baru. Mirip dengan rights issue sehingga belum tentu di harga pasar,” jelasnya. Ia bilang untung bagi perbankan saat mengikuti langkah penyelamatan ini sangat bergantung kepada kinerja Garuda di masa mendatang. Bank akan mendulang cuan bila di masa depan harga saham Garuda bisa terbang dibandingkan saat skema ini dilakukan. Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rudi As Aturridha menyatakan ke depannya, akan mempelajari seluruh skema yang diajukan Garuda dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian. Juga akan tetap berkoordinasi secara internal termasuk dengan kreditur-kreditur BUMN lain untuk mencari opsi terbaik. “Terkait dengan penyaluran kredit di sektor transportasi khususnya transportasi udara, Bank Mandiri telah mencatatkan realisasi sebesar Rp 3,7 triliun hingga April 2021 dengan kondisi non performing loan yang sangat terjaga,” kata Rudi. Ia mengakui Bank Mandiri juga menjadi salah satu kreditur dari Garuda Indonesia dengan kondisi kredit masih dalam level yang termitigasi hingga akhir April 2021. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Ebi Junaidi bilang skema
debt to equity swap ini dalam jangka pendek akan membantu keuangan Garuda. Namun dalam jangka panjang, kinerja dari maskapai tertua di Indonesia itu juga akan berdampak kepada kinerja perbankan sebagai pemegang saham sementara. “Ini memang solusi jangka pendek, bila tidak ada perbaikan manajemen maka setiap tahun kerugian akan semakin besar. Ini yang akan menanggung bukan hanya Garudanya tapi juga perbankannya. Domino efeknya tergantung pada berapa besar kredit yang dikonversi menjadi ekuitas,” jelasnya.
Baca Juga: Simak opsi penyelesaian kredit Garuda Indonesia dari Kementerian BUMN Dalam Peraturan OJK No.36/POJK03/2017 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal disebutkan, bank boleh melakukan penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur akibat kegagalan kredit, paling lama lima tahun atau hingga perusahaan itu memperoleh laba. Setelah itu bank wajib melakukan divestasi penyertaan modal sementara. Jika dalam kurun waktu tersebut, perusahaan debitur masih mengalami rugi, bank harus melapor ke OJK terkait rencana divestasi. Dari laporan keuangan sejumlah bank yang menjadi kreditur Garuda, Bank BNI menyalurkan kredit ke Garuda Rp 2,82 triliun per kuartal I 2021. BRI memiliki kredit Rp 3,3 triliun ke maskapai ini per Maret 2021. Bank Panin saat ini memiliki saldo kredit ke Garuda Rp 1,7 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi