Jika rupiah turun tajam, akan datang bencana lain



JAKARTA. Keputusan Bank Indonesia (BI) menaikkan kembali suku bunga acuan atawa BI Rate ke level 7,25% dianggap beberapa ekonom sebagai langkah tepat di tengah angka inflasi Indonesia yang tak kunjung turun.

Pasalnya, bank sentral sendiri baru-baru ini telah merevisi angka inflasi tahunan ke level 9%-9,2% dari prediksi sebelumnya pada kisaran 8%.

“Sebenarnya ada peluang deflasi pada September ini. Namun kalaupun ada deflasi, angkanya pasti kecil sekali. Expected inflation tetap minimal 9%“, kata Tony Prasetiantono, Ekonom Universitas Gadjah Mada melalui pesan singkatnya kepada KONTAN, Jumat (13/9).


Menurutnya, dengan prediksi angka inflasi setinggi itu, maka tak mungkin lagi jika bank sentral tetap menahan BI Rate di level yang rendah.

“Pemilik rupiah enggan menyimpan dananya di bank dan memilih mengonversikan ke dolar, sehingga demand dolar meningkat,” ucapnya.

Meskipun demikian, Tony tak memungkiri langkah bank sentral yang terlalu agresif dalam mengerek BI Rate dalam empat bulan terakhir ini, akan berdampak pada perlambatan ekonomi Indonesia.

Namun katanya, hal ini akan jauh lebih baik ketimbang melihat nilai mata uang Garuda terus terdepresiasi secara tajam.

“Jika rupiah terdepresiasi tajam, akan mendatangkan malapetaka lain, melalui trigger imported inflation. Ini tak kalah gawat daripada  dampak kenaikan suku bunga,” tegas Tony.

BI sendiri sebelumnya telah mengoreksi target pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5,5%-5,8%, tak se-optimistis sebelumnya yang memprediksi ekonomi dapat tumbuh 5,8%-6,2%.

Perlu diketahui, dengan kenaikan BI rate sebesar 2,5% pada Kamis lalu (12/9) artinya dalam empat bulan terakhir BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 150 basis points (bps).

Bahkan, hanya selang dua pekan, terhitung sejak 29 Agustus 2013 angkanya telah naik sebesar 75 bps.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan