Jika Rusia-Ukraina Gencatan Senjata, Harga Minyak Bisa Turun ke US$ 80 per Barel



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sempat anjlok, kini harga minyak dunia kembali meroket. Pada awal pekan ini, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) sempat berada di level US$ 92,20 per barel pada Selasa (15/3). Padahal, sebelumnya, minyak WTI konsisten berada di kisaran US$ 100 per barel.

Namun, tak selang berapa lama, harga minyak kembali naik dan pada akhir penutupan perdagangan Jumat (18/3) sudah berada di level US$ 103,09 per barel. Artinya pada rentang waktu tersebut, harga minyak naik hingga 11,81%.

Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf mengatakan, harga minyak dunia sejatinya memang masih bergerak fluktuatif. Terjadinya koreksi harga tersebut dinilai akibat munculnya optimisme mengenai pembicaraan damai antara Rusia-Ukraina. 


Baca Juga: Iran Targetkan Ekspor Minyak Mentah 1,4 Juta Barel Per Hari

Selain itu, aksi profit taking turut mendorong penurunan harga seiring minyak sempat menyentuh level tertingginya dalam 14 tahun terakhir. Ditambah lagi, Uni Emirat Arab yang mengatakan bahwa pihaknya akan mendorong negara Arab untuk menambah pasokan ke pasar semakin mempercepat koreksi. 

Namun, di akhir minggu, Alwi menyebut, investor kembali fokus pada krisis Rusia-Ukraina, di mana kesepakatan Ukraina dan Rusia telah memudar ketika serangan militer Rusia di kota-kota utama berlanjut. 

“Ketegangan Rusia-Ukraina telah memicu kembali kekhawatiran mengenai terganggunya pasokan, mengingat Rusia merupakan produsen minyak terbesar dunia. Alhasil, harga minyak kembali menguat,” kata Alwi kepada Kontan.co.id, Sabtu (19/3).

Baca Juga: Sempat Terkoreksi, Harga Minyak Dunia Kembali Menembus US$ 100 Per Barel

Ke depan, Alwi menilai tren pergerakan harga minyak akan sangat bergantung pada penyelesaian krisis Rusia-Ukraina. Jika ketegangan terus berlanjut, harga minyak kemungkinan akan melanjutkan tren bullish. Namun, jika ternyata ada gencatan senjata antara kedua negara tersebut, kemungkinan kekhawatiran pasokan akan berkurang yang pada akhirnya bisa membuat koreksi harga minyak.

Sentimen lainnya adalah, kesepakatan OPEC+ dalam memompa minyaknya ke pasar. Jika OPEC+ masih mempertahankan kuota minyak sebesar 400 ribu bph, Alwi menilai hal tersebut mungkin akan mengangkat harga minyak, karena pasokan masih ketat. 

Namun, jika langkah UEA untuk mendorong OPEC untuk menambah pasokan, kemudian diikuti oleh anggota OPEC lainnya, mungkin bisa mengurangi kekhawatiran pasokan tersebut. Apalagi jika terjadi kesepakatan nuklir AS-Iran, yang berpotensi menghadirkan pasokan minyak Iran ke pasar sebesar 1 juta bph. 

Baca Juga: Simak Rincian Tarif Pungutan Ekspor Terbaru CPO dan Turunannya

Dia menambahkan, faktor lain yang patut diperhatikan adalah pelepasan minyak dari Strategic Petroleum Reserve (SPR) dari negara-negara konsumen minyak, seperti Jepang, Korea Selatan, Inggris, dan AS sendiri. Jika hal tersebut dilakukan, maka bisa meredam kenaikan harga minyak.

“Kemudian, faktor lain yang juga bisa menekan harga adalah kenaikan suku bunga The Fed, yang mungkin bisa mengangkat dolar AS. Pasalnya harga komoditas bergerak terbalik dengan dolar AS,” imbuh dia.

Namun, Alwi meyakini bahwa Rusia dan Ukraina akan mengakhiri konflik mereka. Di saat yang bersamaan, OPEC+ akan berusaha untuk menyeimbangkan pasokan. Alhasil, dia optimistis harga minyak dunia akan turun pada akhir tahun nanti. “Kemungkinan, pada akhir 2022, harga minyak akan turun ke US$ 80 per barel,” kata Alwi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati