JAKARTA. Rencana Kementerian Kesehatan (Kemkes) melarang setiap rumah sakit menerima pasien Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang terkena penyakit akibat rokok, akan menguntungkan negara. Kemkes mencatat, negara akan menghemat anggaran sebesar Rp 2,11 triliun setiap tahunnya. Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, menjelaskan larangan bagi perokok untuk menerima layanan Jamkesmas merupakan sebuah hal yang menyangkut moral. "Perokok memilih untuk menerima risiko penyakit ketika merokok dan sudah diingatkan pemerintah, lantas apakah ketika sakit mesti ditanggung?," ujarnya kepada KONTAN (29/1). Menurut Nafsiah, setiap tahunnya pengeluaran negara untuk Jamkesmas mencapai Rp 6,7 triliun dan tahun ini mencapai Rp 7,4 triliun. Sedangkan, biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan bagi pasien yang sakit akibat rokok mencapai Rp 2,11 triliun per tahun. Menurutnya, bantuan dari pemerintah berupa Jamkesmas hanya ditujukan bagi masyarakat yang membutuhkan dan telah melaksanakan kewajiban menjaga kesehatan. Bentuk kategori penyakit yang bisa disebabkan oleh rokok di antaranya seperti penyakit jantung, paru-paru, dan kanker. Hal itu bisa menjadi catatan sendiri bagi rumah sakit dan puskesmas. Saat ini Kemkes sudah meminta pengelola program Jamkesmas, seperti PT Askes untuk mendata secara lengkap penyakit yang dilayani akibat rokok. Hal ini untuk memastikan kelengkapan data pendukung peraturan larangan perokok mendapatkan Jamkesmas atau layanan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan nantinya. Rencana pemerintah menerapkan larangan perokok mengantongi Jamkesmas juga untuk mendukung keberadaan Undang-Undang(UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Serta, Peraturan Pemerintah(PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Data dari Kemkes pada tahun 2010, sebanyak 190.260 orang di Indonesia meninggal karena rokok. Sementara total kerugian negara akibat rokok mencapai Rp 245,41 triliun per tahun.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Jika sakit, perokok tidak akan diberi Jamkesmas
JAKARTA. Rencana Kementerian Kesehatan (Kemkes) melarang setiap rumah sakit menerima pasien Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang terkena penyakit akibat rokok, akan menguntungkan negara. Kemkes mencatat, negara akan menghemat anggaran sebesar Rp 2,11 triliun setiap tahunnya. Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, menjelaskan larangan bagi perokok untuk menerima layanan Jamkesmas merupakan sebuah hal yang menyangkut moral. "Perokok memilih untuk menerima risiko penyakit ketika merokok dan sudah diingatkan pemerintah, lantas apakah ketika sakit mesti ditanggung?," ujarnya kepada KONTAN (29/1). Menurut Nafsiah, setiap tahunnya pengeluaran negara untuk Jamkesmas mencapai Rp 6,7 triliun dan tahun ini mencapai Rp 7,4 triliun. Sedangkan, biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan bagi pasien yang sakit akibat rokok mencapai Rp 2,11 triliun per tahun. Menurutnya, bantuan dari pemerintah berupa Jamkesmas hanya ditujukan bagi masyarakat yang membutuhkan dan telah melaksanakan kewajiban menjaga kesehatan. Bentuk kategori penyakit yang bisa disebabkan oleh rokok di antaranya seperti penyakit jantung, paru-paru, dan kanker. Hal itu bisa menjadi catatan sendiri bagi rumah sakit dan puskesmas. Saat ini Kemkes sudah meminta pengelola program Jamkesmas, seperti PT Askes untuk mendata secara lengkap penyakit yang dilayani akibat rokok. Hal ini untuk memastikan kelengkapan data pendukung peraturan larangan perokok mendapatkan Jamkesmas atau layanan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan nantinya. Rencana pemerintah menerapkan larangan perokok mengantongi Jamkesmas juga untuk mendukung keberadaan Undang-Undang(UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Serta, Peraturan Pemerintah(PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Data dari Kemkes pada tahun 2010, sebanyak 190.260 orang di Indonesia meninggal karena rokok. Sementara total kerugian negara akibat rokok mencapai Rp 245,41 triliun per tahun.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News