Jika Tak Bisa Penuhi Syarat EUDR, Pasar Sawit Indonesia Bisa Dicaplok Malaysia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaksanaan EU Deforestation Free Regulation (EUDR) telah ditetapkan akan diundur selama setahun yang tadinya akan berlaku pada akhir Desember 2024 ini. Meski diundur, nampaknya masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) yang harus dibereskan. 

Muhammad Fauzan Ridha, Ketua Tim Kerja Pemasaran Internasional, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan) mengatakan penundaan ini selain memberikan waktu kepada Indonesia untuk berbenah, disisi lain adalah sebuat tantangan. Fauzan mengatakan persentase ekspor minyak sawit dan turunannya ke pasar Eropa adalah sebesar 10% dari total ekspor tahunan. Jika Indonesia gagal memenuhi kriteria ekspor yang harus dipenuhi EUDR, maka Indonesia akan kehilangan Rp 30-50 triliun per tahun. "Ekspor sawit Indonesia itu 10% yang akan terdampak. Mana kala pemenuhan kriteria belum dipenuhi diperkirakan Indonesia akan kehilangan Rp 30-50 triliun per tahun, kalau kita tidak bisa masuk pasar Eropa," ungkap Fauzan dalam acara diskusi publik bersama Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang dilaksanakan Rabu (23/10). jika Indonesia 'kecolongan' Fauzan bilang Eropa bisa saja mengalihkan impor mereka kepada Malaysia. Untuk diketahui, Malaysia saat ini tercatat sebagai produsen kedua terbesar di dunia setelah Indonesia. Negeri Jiran itu dapat  memproduksi sekitar 19,3 juta ton sawit per tahun. "Mengenai potensi mengalihkan produsennya ke Malaysia,  kenapa posisinya ada potensi itu, karena bagaimanapun tata kelola di Malaysia itu, dalam tanda kutip, tidak serumit yang ada di Indonesia gitu," tambah Fauzan. Fauzan mengakui, jika dibandingkan negara tetangga Indonesia itu, Malaysia lebih unggul dari sisi tata kelola, kemudian lahan sawit di Malaysia 90%-nya sudah sertifikasi Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) atau setara dengan sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO). "Secara lahan sih memang lahan dan produksi Malaysia masih di bawah kita. Dan memang mereka sebenarnya untuk sertifikasi ISPO pun, mereka sudah 90% kalau tidak salah ya, untuk disertifikasi MSPO," ungkapnya. Disisi lain, Indonesia juga masih punya tugas untuk memberikan penyuluhan lebih lanjut mengenai EUDR kepada para petani sawit. Adapun berdasarkan data penelitian dari INDEF, dari 500 koresponden yang berasal dari 3 wilayah perkebunan sawit yang terlibat dalam rantai pasok pasar UE terbesar yaitu petani kelapa sawit (plasma dan mandiri) di Riau (Siak), Lampung (Mesuji), dan Kalimantan Barat (Ketapang) hanya 6% petani yang pernah mendengar Peraturan Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) ini. "Sebanyak 94% responden tidak pernah mendengar. Ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam pengetahuan dan kesadaran di kalangan petani kecil, yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk mematuhi peraturan dan membuat keputusan yang tepat terkait praktik pertanian mereka," ungkap peneliti senior INDEF, Fadhil Hasan. Terkait ini, Fauzan bilang saat ini Ditjen Perkebunan telah melalui serangkaian proses percepatan penerbitan Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B) mulai dari penyederhanaan form pendataan, penerapan sistem verifikasi mandiri, penerapan Tanda Tangan Elektronik, dan lain sebagainya. Nantinya, jika petani telah memiliki STDB, ini akan mempermudah akses bantuan dan pembiayaan, termasuk syarat pekebun agar bisa menuju sertifikasi ISPO maupun RSPO. "Kemudian bagaimana status-status lahan kita di petani, nah itu yang merupakan tantangan, yang memang harus menjadi satu pertimbangan gitu. Manakala lahan pun harus clear and clean gitu ya," tutupnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Sulistiowati