JK sayangkan pejabat PLN Sumut divonis pidana



JAKARTA. Putusan pidana oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan terhadap para terdakwa perkara peremajaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine GT 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan (LTE GT 2.1 & GT 2.2), turut mengundang komentar Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla.Dia menyayangkan sejumlah pejabat PLN yang dinyatakan tidak terbukti melakukan korupsi itu tetap divonis pidana.

Menurut JK, panggilan Jusuf Kalla, tidak selayaknya orang yang membuat kebijakan dipidanakan. "Sekarang itu orang banyak yang takut, takut dipenjara karena mengeluarkan kebijakan," ujarnya, di acara National Conference on Electrical Power Business & Technology, di Jumat (3/10).

Jusuf Kalla menegaskan, sejumlah mantan pejabat PLN yang di Belawan, Medan, tidak tepat dipenjara karena kebijakannya.


Sebagai bentuk protesnya, Jusuf Kalla mengaku sudah memberi masukan perihal tersebut kepada Jaksa. "Saya bilang, jangan kau penjarakan orang yang buat kebijakan, tapi ya sudah lah (sudah diputus bersalah)," ujarnya, melalui rilis yang diterima Tribunnews.com Network.

Dia menyatakan, di era pemerintahannya lima tahun ke depan, hal tersebut akan segera diperbaiki.

Seperti diketahui, tiga orang mantan pejabat PLN divonis bersalah dalam kasus korupsi proyek pemeliharaan Pembangkit Listrik Tenaga Gas/Uap (PLTGU) Belawan pada Rabu lalu.

Hakim menjatuhkan hukuman satu setengah tahun hingga empat tahun penjara karena dianggap lalai tidak melaksanakan aturan Berita Acara pada pembayaran tahap kedua dan ketiga kepada Mapna Co sebagai kontraktor pekerjaan LTE PLTGU Belawan.

Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan menyatakan tenaga ahli PLN yang dijadikan terdakwa dalam perkara peremajaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine GT 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan (LTE GT 2.1 & GT 2.2), tidak terbukti melakukan pelanggaran atas Pasal 2 UU Tipikor.

Penegasan tersebut dinyatakan Ketua Majelis Hakim S.B. Hutagalung, saat membacakan keputusan vonis kepada terdakwa Chris Leo Manggala, di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (1/10).

Selain Chris Leo, dua terdakwa lain yang dibacakan vonisnya pada hari yang sama adalah Muhammad Ali dan Surya Dharma Sinaga. Sidang putusan berakhir Rabu malam.

Menurut Hutagalung, dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang menyatakan terdakwa melanggar Pasal 2 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Dengan menggunakan Pasal 2 tersebut, jaksa menuduh terdakwa dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang dapat merugikan negara dan memperkaya orang lain atau suatu korporasi seperti dakwaan primer Jaksa. "Setelah mempertimbangkan fakta dan bukti-bukti di persidangan, Majelis Hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti melanggar dakwaan primer sesuai Pasal 2 tersebut, dan membebaskan terdakwa dari dakwaan primer,” tandas Hutagalung.

Menurut Majelis Hakim, dalam perkara LTE, juga tidak terbukti ada kerugian negara yang timbul sesuai perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Hutagalung menegaskan, Majelis berpendapat bahwa BPKP bukan lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara, melainkan tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Majelis Hakim berpendapat bahwa laporan BPKP tentang perhitungan kerugian negara tidak dapat dijadikan dasar penghitungan kerugian negara karena tidak memiliki dasar hukum dan disusun tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Hutagalung juga mengutip kesaksian Dr. Tri Yuswidjajanto, ahli Sistem Pembangkit Daya dan Perawatan Mesin ITB, yang menegaskan, dalam perkara LTE ini, tidak ada kerugian negara. Sebaliknya, negara dan PLN justru bisa berhemat dan malah untung.

Dalam kesaksian sebelumnya, Tri menyatakan bahwa unit pembangkit listrik yang bekerja, butuh BBM yang disubsidi negara (BBM subsidi). Selain itu, listrik yang dihasilkan dan disalurkan ke masyarakat juga harga jualnya disubsidi pemerintah.  Dengan asumsi harga solar non subsidi Rp 12.000/liter, sementara harga Solar subsidi Rp 5.500/liter, maka negara memberi subsidi Rp 6.500/liter.

Untuk turbin gas dengan daya 132 MW dan konsumsi Solar subsidi 0,31 liter/kwh, maka beban subsidi Rp 184 juta per jam. Nilai dihitung untuk 309 hari dan dianggap bekerja terus-menerus, butuh subsidi Rp 1,365 triliun.   Sementara untuk mengoperasikan dalam jangka waktu tersebut diperlukan biaya BBM sebesar Rp 1,365 triliun dan biaya operasi serta pemeliharaan Rp 819 miliar.  Dengan kata lain tidak beroperasinya unit tersebut ada penghematan sebesar Rp 2,184 triliun di PLN. Jika ini dibandingkan dengan pendapatan PLN yang tidak terealisir menurut perhitungan BPKP sebesar Rp 2,007 triliun, justru terjadi penghematan Rp 177,6 miliar.   Menurut Tri Yus, bila dakwaan jaksa menuduh ada potensi kerugian karena mesin turbin GT 2.1 dan 2.2 saat tidak beroperasi, justru sebetulnya PLN menghemat karena tidak ada pembelian BBM, pengeluaran untuk operasi dan pemeliharaan, serta bagi negara ada penghematan subsidi BBM dan subsidi listrik sejumlah di atas.   “Dengan tidak terpenuhinya korupsi dan kerugian negara, maka terdakwa bebas dari dakwaan primer,” tandas Hutagalung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan