KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para analis dan ekonom memproyeksikan dalam jangka pendek rupiah akan lanjut menguat setelah Joe Biden terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat (AS). Namun, dalam jangka panjang dolar AS berpotensi kembali menguat siapapun presidennya. Penguatan nilai tukar rupiah mulai terjadi sejak pelaku pasar mengekspektasikan Biden memang dalam pemilu AS. Mengutip Bloomberg, Jumat (6/11) rupiah menguat 1,18% ke Rp 14.210 per dollar AS. Kurs tengah Bank Indonesia (BI) juga mencatat rupiah menguat 0,82% ke Rp 14.321 per dollar AS. Kini Biden sudah dapat dipastikan akan melanggang ke Gedung Putih. Analis Valbury Asia Futures, Lukman Leong mengatakan, kepastian kemenagan Biden dalam pemilu AS membuat rupiah cenderung melanjutkan penguatannya.
Dalam jangka pendek, ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga memproyeksikan, rupiah bisa stabil menguat meski penguatan tidak akan lagi signifikan. Rupiah juga bisa tersokong menguat meski cadangan devisa Indonesia periode Oktober kembali menurun US$ 1,5 miliar secara bulanan menjadi US$ 133,7 miliar. "Rupiah masih aman meski cadangan devisa menurun," kata David, Jumat (6/11). Di satu sisi pergerakan rupiah masih bisa terjaga dari data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang penurunannya tidak lagi dalam di kuartal III-2020 seperti di kuartal sebelumnya.
Baca Juga: Joe Biden menang, rupiah berpeluang menguat lagi, Senin (9/11) Namun, Analis Monex Investindo Futures Faisyal mengatakan, dalam jangka pendek berpotensi terjadi
bargain hunting. Pelaku pasar bisa saja kembali mengoleksi dollar AS karena sudah turun dalam. Ditambah lagi pelaku pasar bisa khawatir pegang rupiah karena data cadangan devisa menurun dan Indonesia resmi resesi. Sementara itu posisi dolar AS terhadap mata uang lain seperti dollar singapura, yen, poundsterling, dan euro juga cenderung melemah. Hanya terhadap dolar Australia posisi dolar AS pada Jumat (6/11) menguat. Faisyal mengatakan, sudah menjadi hal yang lumrah ketika pemilu maka mata uang negara tersebut akan dijauhi pelaku pasar. Namun, di satu sisi mata uang lain juga masih dibayangi sentimen negatifnya masing-masing. Euro masih dibayangi penambahan jumlah kasus Covid-19. Sedangkan, poundsterling masih bisa kembali tertekan karena sentimen ketidakpastian kesepatakan Brexit. Kelanjutan pelemahan dollar AS ke depan akan bergantung pada kondisi setelah pemilu AS usai. Sementara itu, penguatan rupiah dalam jangka pendek tidak lagi signifikan karena pelaku pasar sudah priced in. Sebaliknya, jika kondisi politik AS ricuh setelah pemilu maka pergerakan mata uang utama dan rupiah bisa berbalik melemah terhadap dollar AS. Lihat saja, saat ini Trump masih tidak terima atas kekalahannya dan bersikukuh melakukan kampanye penegakan UU Pemilu AS ke pengadilan. Namun dalam jangka panjang, Faisyal masih memandang dollar AS menarik untuk dibeli meski saat ini sedang melemah. "Siapapun yang menang menjadi presiden AS, dolar AS akan naik lagi," kata Faisyal.
Jangan lupa, Biden tentunya memiliki kebijakan yang berbeda dari Trump yang ujungnya bisa memperkuat dolar AS kembali. Alhasil, Faisyal melihat ini kesempatan pelaku apsar untuk beli dolar AS saat harga anjlok. Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail Zaini mengatakan volatilitas rupiah ke depan akan datang dari keseuaian ekspektasi pelaku pasar terhadap Biden dengan realitas yang akan terjadi. "Stimulus apakah benar lebih besar, jangan-jangan ke depan masih terganjal di senat, belum lagi jika Trump masih terus memprotes," kata Mikail. Namun, jika kondisi politik AS tetap kondusif maka optimisme bisa tercipta. Mikail memproyeksikan rupiah berpotensi stabil di Rp 14.200 per dollar AS hingga akhir tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat