Johannes Suriadjaja, bos Surya Semesta yang meninggalkan karier demi bisnis keluarga



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Melanjutkan bisnis keluarga bukanlah hal yang mudah. Apalagi di tengah usaha mengembangkan perusahaan, berbagai ujian terus terjadi seperti krisis keuangan.

Tantangan itulah yang harus dihadapi oleh Johannes Suriadjaja, Presiden Direktur PT Surya Semesta Internusa Tbk. Bergabung di bisnis yang didirikan sang ayah yakni Benjamin Suriadjaja sejak tahun 1992, Johannes mengaku tidak pernah menyerah melewati berbagai tantangan. Prinsip pantang menyerah itulah yang akhirnya membuat komitmen Johannes membesarkan bisnis keluarga, berbuah manis.

Saat berbincang dengan Kontan.co.id beberapa waktu lalu, Johannes bercerita, saat belia dia banyak menghabiskan waktu di Amerika Serikat (AS). Johannes berada di negeri adidaya itu sejak usia sekolah menengah pertama (SMP) hingga meraih gelar sarjana di The American College of The Applied Art, Los Angeles. Dia kuliah di jurusan Marketing Management hingga tahun 1986. "Setelahnya saya melanjutkan bekerja di sana," ujarnya.


Pekerjaan pertamanya saat lulus kuliah adalah sebagai sales marketing di Toyota Motor Sales. Pengalaman sebagai tenaga pemasar inilah, yang menurut Johannes, cukup berkesan. Sebab dengan pekerjaan tersebut, dia bisa mengetahui langsung mengenai penjualan mobil Toyota dengan cakupan distribusi ke seluruh negara bagian di AS.

Di sana Johannes mempelajari strategi penjualan, pengawasan diler, distribusi, dan pengaturan keuangan. Namun, karier Johannes di AS tidak berlangsung lama. Pada tahun 1989 dia memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mendapatkan pekerjaan di Chase Manhattan Bank di Jakarta sebagai Assistant Manager Corporate Banking pada tahun 1990.

Dari seorang tenaga pemasaran, Johannes akhirnya menjadi seorang bankir. Perpindahan profesi ini bukanlah hal mudah. "Saya harus melalui seleksi dan pelatihan ketat selama tiga bulan di Hong Kong untuk bisa diterima di Chase Manhattan Bank," kenangnya. Dari puluhan peserta yang ikut pelatihan, hanya dua orang yang diterima, salah satunya Johannes.

Mengawali kiprah sebagai seorang bankir pemula, karir Johannes terus berkembang. Setahun berjalan, kinerja Johannes dinilai cukup ciamik. Oleh karena itu, pada akhir tahun 1991, Chase Manhattan Bank berencana mengirim Johannes ke ke New York, AS. Namun, dengan berat hati Johannes menolak tawaran tersebut karena bisnis keluarganya tiba-tiba mengalami krisis.

"Keluarga kami mengalami krisis, saat itu perusahaan kami masih tergabung di Astra Group dan Bank Summa kolaps sehingga William Soeryadjaja (kakak dari Benjamin) harus memberikan personal guarantee. Keluarga meminta saya membantu," kata Johannes.

Kala itu, perusahaan milik keluarga, yakni PT Multi Investment Ltd, tersangkut krisis keuangan akibat jatuhnya bank penjamin mereka, Bank Summa. Johannes yang memiliki kemampuan analisa finansial melalui pengalaman di Chase Manhattan dan kemampuan manajerial berkat masa-masa di Toyota AS diminta keluarga Soeryadjaja untuk kembali ke lini bisnis keluarga yang tengah "kebakaran".

Karena itu di tahun 1992, Johannes diberi tanggung jawab untuk memegang pengembangan bisnis properti dan penjualannya untuk proyek Kuningan Residency dan Tanjung Mas Raya.

Tahun pertama menjalani pekerjaannya, dia harus menganalisa dan memitigasi masalah di perusahaan keluarganya tersebut. Pekerjaan itu dijalani dengan sukarela karena tidak mendapat gaji. Tapi, hal tersebut tidak menjadi masalah karena komitmen untuk bekerja membantu keluarga menurutnya tidak memiliki perhitungan angka.

"Mungkin waktu itu kompetensi saya juga masih dites keluarga, dua tahun bekerja saya fokus menganalisa bisnis. Apa yang bisa kami perbaiki, apa yang bisa kami selamatkan, dan bisa dijual," jelasnya.

Kondisi ini berlangsung hingga tahun 1993, yakni ketika perusahaan akhirnya mulai berbalik pulih dan Johannes kembali menerima cek gaji. Posisinya bahkan naik menjadi direktur dan melanjutkan tugasnya sebagai analis bisnis properti di Multi Investment.

Namun, Johannes bukan tipe yang berdiam di trayek aman. Dia mengajukan diri untuk merealisasikan roadmap perusahaan untuk jangka lima tahun ke depan. "Bisnis tidak boleh diam di air tenang, tapi harus terus mengalir dan menganalisa potensi depan. Apalagi, lini properti merupakan bisnis visioner, maksudnya pekerjaan saat ini adalah untuk masa depan. Maka strategi yang rinci dan anti-gagal harus disiapkan," ungkapnya.

Keluar dari krisis

Pada tahun 1994, Johannes mulai menjalankan rencana kerja jangka menengah tersebut. Tahap pertama, Multi Investment melepaskan diri dari Grup Astra dan melakukan restrukturisasi besar-besaran, termasuk perubahan manajemen.

Tahap kedua, perusahaan mengganti nama menjadi PT Surya Semesta Internusa (SSI). Dalam perencanaan yang telah ia susun sejak 1992, SSI perlahan-lahan mengubah pola manajerial dan struktur finansial. Tapi, proses tersebut tidak berjalan dengan mudah. "Karena krisis terdahulu, tidak ada bank yang mau memberi pendanaan ke kami, semuanya menghindar," kenangnya.

Tahun 1994 hingga 1995 menjadi masa-masa yang diakui Johannes sebagai masa paling berat. Rekan-rekan di perbankan nampaknya masih mengingat kejatuhan Bank Summa dan urung mengeluarkan pinjaman. Aral boleh melintang, tapi relasi, koneksi dan kepercayaan diri Johannes membawa perusahaan berhasil menyabet pendanaan dari Bank International Indonesia (BII).

BII kala itu dipenuhi rekan-rekan Johannes dari masa kerja di Chase Manhattan Bank. Karena itu, mereka mengetahui etos kerja sang direktur muda tersebut ketika itu.

Kemudian, melalui skema convertible bond yang terbit tahun 1994, SSI mendapatkan pendanaan dan mulai membangun kawasan hotel Grand Melia di bilangan Kuningan, Jakarta dan kawasan perkantoran Surya Semesta Tower.

Pada tahun 1996, Johannes naik menjadi wakil presiden direktur karena dinilai berhasil melancarkan program penyehatan keuangan dan pembangunan yang ia rencanakan sendiri.

Setahun kemudian, ia melangkah ke tahap selanjutnya dari rencana kerja lima tahun, yaitu memperluas sumber finansial dengan mencatatkan SSI di bursa. Pada Maret 1997, secara resmi saham berkode SSIA pun muncul di Bursa Efek Jakarta.

Namun euforia dari listing bursa tersebut tidak berlangsung lama. Pasalnya, krisis keuangan kembali menerjang perusahaan. Kali ini penyebabnya adalah krisis moneter yang terjadi tahun 1998. Mata uang rupiah jatuh dari Rp 2.500 per dollar AS, menjadi Rp 15.000 per dollar AS.

Hal ini menjadi masalah besar karena utang SSIA menggunakan valuta dollar AS senilai US$ 65 juta. Mendadak utang perusahaan yang senilai US$ 100 juta-US$ 200 juta membengkak lima kali lipat mencapai Rp 2 triliun. "Pembukuan kami loss semua, semuanya terkena besar. Tapi, saat itu kami langsung teringat filosofi keluarga, yakni integritas, kejujuran dan kepercayaan, ini adalah kunci kenapa masih bisa bertahan sampai sekarang," lanjutnya.

Filosofi tersebut merupakan pembelajaran yang diterapkan keluarga Johannes sejak krisis pertama di tahun 1992. Tahun itu adalah tahun saat perusahaan kolaps untuk pertama kali. Ketika itu, keluarga menjamin akan membayar utang, menyelesaikan proyek yang sudah eksis, dan mengembalikan keadaan. Berkat integritas, kejujuran dan kepercayaan yang diberikan investor, SSIA bisa kembali bangkit.

Krisis tahun 1997–1998, seakan kembali mengulang sejarah keluarga. Namun bedanya, kali ini krisis bisa dilewati dengan menggunakan pengalaman dan mitigasi krisis yang lebih matang. Apalagi strategi keuangan perusahaan juga lebih kuat.

Johannes dan timnya aktif melakukan negosiasi dan meyakinkan investor bahwa pihaknya akan membayar utang dan bunga yang mengikutinya. Saat itu, beban keuangan melonjak, tapi untungnya pendapatan dari hotel dan kawasan kantor masih cukup untuk membantu arus kas perusahaan.

Salah satu strategi yang dia lakukan untuk mengatasi krisis kala itu adalah dengan melakukan debt to asset ratio swap. Dia memilih cara ini karena iklim keuangan dan properti kala itu dinilai sangat berbahaya. Melalui skema itu, aset bank tanah SSIA ditukar untuk membayar utang.

Krisis mereda, pada 2001 Johannes diangkat menjadi presiden direktur. Dia pun berniat melanjutkan pengembangan bisnis yang sempat terhenti. Pembangunan baru dimulai pada 2006 karena hingga tahun 2005, SSIA masih tersandung restrukturisasi utang.

SSIA berencana masuk dalam bisnis jalan tol, namun karena pendanaan yang tipis, rencana ini ditahan. Sebagai gantinya, perusahaan kembali melirik potensi pengembangan properti yang masih prospektif dengan adanya bonus demografi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati