John Rachmat:Pemerintah harus punya political will



JAKARTA. Rupiah kian melemah, begitu juga dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjauh dari zona hijau.

Pangkalnya adalah defisit neraca perdagangan bulan September yang tercatat US$ 660 juta. Angka ini jauh lebih parah dibanding bulan sebelumnya yang surplus US$ 120 juta.

Defisit neraca perdagangan ini disebabkan oleh impor bahan bakar minyak (BBM) yang masih tinggi. Impor minyak dan gas hingga September 2013 naik hingga lima kali lipat dari US$ 2 miliar di periode sama tahun lalu, menjadi US$ 10 miliar. Padahal, impor non migas surplus US$ 3 miliar, stabil dibanding tahun lalu.


Kalau ingin menyelesaikan masalah, pemerintah perlu mempertimbangkan lagi mengurangi subsidi BBM. Paling tidak, produksi migas ditingkatkan. Sayangnya, hal-hal ini malah tak dilakukan oleh pemerintah yang sepertinya tak memiliki political will melakukan kebijakan fiskal.

Karena pemerintah yang tak mencoba melakukan sesuatu, Bank Indonesia (BI) bereaksi dengan menaikkan suku bunga acuan. Langkah itu ternyata memperburuk situasi dan bukan kebijakan yang tepat untuk memperbaiki kondisi saat ini. BI rate merupakan instrumen moneter untuk menekan inflasi. Sedangkan, defisit neraca perdagangan sebenarnya adalah kondisi fiskal.

BI coba memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan menaikkan BI rate. Memang, pertumbuhan ekonomi melambat maka kegiatan ekonomi pun melambat. Sehingga kebutuhan masyarakat terhadap energi pun berkurang.

Tapi, pada akhirnya akan merugikan banyak pihak karena utang menjadi mahal dan investasi berkurang. Ini seperti throwing out the baby from the water. Hanya ingin membuang air dalam bak, namun si bayi malah ikut terbuang.

Sebelumnya saya sempat yakin IHSG mampu rebound ke level 5.000 di akhir tahun. Namun dengan kondisi saat ini, IHSG akan ke posisi 4.000. n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana