Johnny Darmawan, Ketua Apindo: Kita mengalami deindustrialisasi dini



KONTAN.CO.ID - Dalam beberapa tahun belakangan ini, industri manufaktur selalu menjadi sorotan negatif. Habis, pertumbuhan sektor ini terus melempem. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan manufaktur selama 2011 masih 6,2%.

Tapi, pertumbuhannya melambat jadi hanya 4,37% di 2013. Sejak saat itu, pertumbuhan industri manufaktur tidak pernah bangkit dari angka 4%. Terakhir, sepanjang 2018 lalu, manufaktur cuma tumbuh 4,27%.

Padahal, dari tahun ke tahun, kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) selalu jadi yang terbesar. Alhasil, ketika manufaktur tumbuh melambat, pertumbuhan ekonomi ikut lambat.


Tapi, angin segar mulai muncul setelah Nikkei merilis data Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia pada Maret berada di posisi 51,2. Pencapaian ini meningkat sejak Januari 2019. Di awal tahun, PMI Indonesia sempat ada di level 49,9 kemudian naik ke posisi 50,1 pada Februari lalu.

Bank Indonesia (BI) juga menguatkan sinyal positif itu, dengan mengeluarkan Prompt Manufacturing Index (PMI) pada kuartal I 2019. Di tiga bulan pertama tahun ini, PMI berada di kisaran 52,65%.

Capaian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV 2018 yang sebesar 52,58%. Kinerja manufaktur periode ini paling ekspansif sejak 2015.

Benar begitu? Lalu, bagaimana nasib industri manufaktur ke depan pasca pemilihan presiden (pilpres)?

Untuk mendapat gambaran lebih jelas, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Bidang Industri Manufaktur Johnny Darmawan mengungkapkannya kepada wartawan Tabloid KONTAN Ragil Nugroho, April lalu.

Berikut nukilannya:

KONTAN: Prompt Manufacturing Index BI menunjukkan, kinerja manufaktur kuartal I 2019 paling ekspansif sejak 2015. Benar begitu?

Johnny: Memang, berdasarkan data yang dikeluarkan BI, ada pertumbuhan industri manufaktur di triwulan I 2019 dibanding triwulan IV 2018. Namun, peningkatan ini lebih didorong oleh kenaikan volume pesanan, sejalan dengan kenaikan permintaan domestik, termasuk persiapan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri 2019.

Subsektor manufaktur yang naik adalah kertas, barang cetakan, serta makanan dan minuman. Kertas dan barang cetakan jelas naik karena imbas pilpres dan pemilihan legislatif (pileg). Sedang makanan dan minuman karena produsen harus menjaga persediaan barang saat Ramadan. Sebab, saat ini konsumsi masyarakat naik. Artinya, kenaikan ini sesuatu yang wajar terjadi juga di tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, belum mencerminkan kualitas pertumbuhan manufaktur.

KONTAN: Memang, bagaimana sebenarnya perkembangan manufaktur dalam beberapa tahun terakhir?

Johnny: Suka tidak suka, fakta menunjukkan, manufaktur kita terus melorot pertumbuhannya dalam beberapa tahun terakhir. Tidak hanya angka pertumbuhan, namun juga kontribusinya atas PDB.

Dampaknya, ya, selain ke pertumbuhan ekonomi dalam negeri, juga ke defisit neraca perdagangan kita. Karena, ketika industri manufaktur lemah, maka ekspor non-migas juga mau tidak mau akan loyo.

Saya melihat, sudah tidak ada pilihan lain bagi Indonesia untuk segera membangun manufaktur. Selama ini, kebijakan pemerintah kita masih tidak konsisten. Terkadang, semangat untuk membangun industri dalam negeri. Tapi setelah itu, tergoda impor lagi. Dan, ini terjadi berulang-ulang kali.

Dulu, memang ada kendala dasar, misalnya, keterbatasan infrastruktur, regulasi yang ribet dan saling berimpitan, serta insentif yang kurang. Tapi, masalah dasar tersebut sudah mulai diperbaiki oleh rezim Presiden Jokowi. Kita melihat, infrastruktur sudah masif dibangun. Kemudian, beberapa regulasi manufaktur seperti tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) efektif diterapkan serta insentif juga mulai diberikan.

KONTAN: Jadi, permasalahan utama terletak pada keseriusan pemerintah, ya?

Johnny: Iya, saya beranggapan begitu. Dasar masalah sudah diperbaiki sebetulnya, tinggal bagaimana keinginan politik dan keseriusan pemerintah untuk konsisten melaksanakannya. Saya ambil contoh, terkait plastik. Sudah tentu, sebenarnya kita bisa memiliki bahan baku plastik, tidak seperti sekarang yang masih impor.

Dalam pengolahan crude oil atau minyak mentah, itu bisa menghasilkan nafta yang kalau di negara, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat, bisa diolah menjadi bahan baku plastik dan pupuk. Di Indonesia, ini tidak pernah ada. Harusnya itu peran Pertamina.

KONTAN: Lalu, bagaimana prospek industri manufaktur di triwulan kedua hingga akhir tahun nanti?

Johnny: Untuk triwulan dua, masih ada peluang untuk terus tumbuh positif. Namun lagi-lagi, pertumbuhan masih didorong permintaan domestik. Sedangkan ekspor kita belum akan terlalu tumbuh lebih baik lagi karena permasalahan manufaktur dalam negeri kita.

Ke depan, manufaktur Indonesia punya peluang untuk tumbuh melesat. Alasannya, ya, tadi, permasalahan dasar sudah mulai diperbaiki, tinggal menjaga konsistensi ke depan, tidak mudah terpengaruh harga murah lalu memilih impor.

Lalu, hilirisasi harus segera digulirkan dan dipastikan berjalan. Kalau mau maju dan bersaing, kualitas produk kita jelas harus ditingkatkan. Mengapa produk negara lain lebih laku? Sederhana saja, lebih murah namun berkualitas.

Yang jelas, dibutuhkan kesabaran kalau mau membangun manufaktur. Tidak asal yang penting ekspor. Ekspor, kan, seharusnya hasil dari proses hingga menghasilkan produk yang bisa bersaing. Ketika terjadi perang dagang antara Amerika Serikat dan China, ini menjadi contoh nyata ketidakmampuan kita mengambil keuntungan. Hasilnya, peluang itu diambil Thailand, Vietnam, dan negara lain di kawasan yang sudah lebih dulu mempersiapkan produknya dengan baik.

KONTAN: Untuk perizinan, apakah di lapangan sudah lebih mudah prosesnya?

Johnny: Perizinan termasuk dalam bab regulasi yang sudah saya sebutkan tadi. Di atas kertas, pemerintah sudah mulai menyederhanakan regulasi. Tapi memang, praktik di lapangan untuk proses perizinan harus kita pastikan lagi.

KONTAN: Dalam debat terakhir calon presiden, salah satu calon sempat menyinggung deindustrialisasi. Apa benar sudah terjadi deindustrialisasi di Indonesia?

Johnny: Istilah ini memang menyulut pro dan kontra karena beda persepsi. Pemerintah memang tidak setuju kalau kita sekarang deindustrialisasi, karena angka industri manufaktur tetap tumbuh. Tapi, kalau istilah itu mengacu kepada pertumbuhan manufaktur yang melambat, maka, ya, mau tidak mau saya bilang, kita mengalami deindustrialisasi.

Dulu, pertumbuhan manufaktur double digit, bahkan pernah sampai 20% ke atas. Lalu, turun 18% dan belakangan per bulan hanya di bawah 10%. Penurunan pertumbuhan ini yang pemerintah tidak mau terima dan akui. Padahal, deindustrialisasi merupakan hal yang alami di negara-negara maju. Tetapi memang, fenomena ini terjadi usai mencapai tahap industrialisasi yang maju. Contoh, setelah mengalami pertumbuhan ekonomi dobel digit, peningkatan kesejahteraan dan upah buruh, hingga mampu menyentuh industri yang kompleks dan berteknologi tinggi seperti pesawat terbang atau elektronik.

Masalahnya, Indonesia belum mencapai semua kriteria itu. Sebaliknya, malah mengalami kemunduran dalam industrinya. Deindustrialisasi alamiah ketika suatu negara sudah tumbuh tinggi sekali. Kalau yang kita alami sekarang, ya, deindustrialisasi dini. Meski begitu, mari optimistis saja melihat ke depan. Peluangnya ada. Berikan masukan yang membangun dan mari kawal bersama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan