Johnson & Johnson harus bayar ganti rugi US$ 4,6 miliar



KONTAN.CO.ID - NEW JERSEY. Johnson & Johnson harus lapang dada. Perusahaan yang terkenal dengan sebutan J&J ini kalah di Pengadilan Missouri, Amerika Serikat. Juri pengadilan menuntut J&J membayar denda dan ganti rugi senilai US$ 4,6 miliar atau sekitar Rp 65,78 triliun.

Mengutip siaran online pengadilan dari Courtroom View Network, pembayaran itu terdiri dari US$ 500 juta sebagai kompensasi dan US$ 4,14 miliar sebagai ganti tugi. Hukuman ini ini akan dibayarkan kepada 22 wanita dan keluarga mereka yang mengaku terkena kanker ovarium akibat penggunaan produk J&J berjenis bedak pada daerah kewanitaan mereka. Nah, bedak ini disebut terkontaminasi asbes.

Produsen Johnson's Baby Powder ini mengaku kecewa atas keputusan tersebut. J&J yakin, produk bedak buatannya tidak mengandung asbes dan tidak menyebabkan kanker ovarium.


Menurut J&J beberapa penelitian telah menunjukkan bedaknya aman. Administrasi Makanan dan Obat-obatan AS (FDA) melakukan penelitian berbagai bedak, termasuk J&J di tahun 20092010. Hasilnya, tidak ditemukan asbes pada produk mereka.

Selanjutnya, J&J akan mengajukan banding sebagai pembelaan perusahaan. "Kami berniat melakukan semua jalur banding yang tersedia," kata manajemen J&J dalam sebuah pernyataan yang dikutip The New York Times, Kamis (12/7).

Saat ini, J&J tengah menghadapi tekanan. Sebuah dokumen menunjukkan, ada lebih dari 9.000 gugatan yang diarahkan ke J&J karena kasus bedak tersebut.

Sebelumnya pada tahun 2016, juga di Pengadilan Missouri, juri memerintahkan J&J membayar US$ 55 juta kepada keluarga Gloria Ristesund, korban bedak. Dalam sidang lanjutan di pengadilan negeri Missouri. Ristesund adalah mendiang perempuan yang menggunakan bedak Baby Powder dan Shower to Shower Powder J&J untuk kebersihan daerah kewanitaannya, yang ternyata menimbulkan kanker ovarium.

Tanpa label peringatan

Mark Lanier, seorang pengacara untuk para wanita korban J&J mengatakan, terdapat enam wanita yang telah meninggal karena penggunaan bedakmerek tersebut. Bahkan, salah satu penggugat sedang menjalani kemoterapi. Seharusnya, J&J menandai produk tersebut dengan label peringatan.

Tuntutan pemberian label peringatan ini sebenarnya sudah cukup lama. Tahun 1982, Daniel W. Cramer M.D. dari Harvard University menerbitkan jurnal berjudul Ovarian Cancer and Talc. Penelitian itu menghasilkan kesimpulan bahwa penggunaan bedak pada alat kelamin dapat meningkatkan risiko kanker ovarium.

Pihak eksekutif J&J sempat menantang penelitian Cramer tersebut. Sebaliknya, Cramer meminta J&J menarik produk dan memberikan label peringatan. Label peringatan tak pernah muncul.

J&J memang mengeluarkan label peringatan. Tapi tidak ada larangan penggunaan bedak di sekitar organ kewanitaan.

Editor: Herlina Kartika Dewi