JAKARTA. Banjir di Jakarta adalah tanggung jawab semua pihak, baik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atau pemerintah pusat. Namun, nyatanya terjadi ketimpangan kerja. Pemerintah pusat dianggap belum optimal membantu Pemprov DKI dalam mengentaskan banjir yang terjadi rutin setiap tahun.Di sela makan siang bersama Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, seusai blusukan ke tiga lokasi berbeda pada Senin (13/1/2014), Kepala Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Manggas Rudy Siahaan malu-malu mengatakan kondisi tersebut. Ia memilih memberikan banyak contoh soal ketimpangan kerja antara pusat dan daerah."Di Jalan Letjend S Parman, trotoar milik pusat (Kementerian Pekerjaan Umum). Tapi di trotoar sana enggak ada mulut airnya untuk mengalirkan air ke selokan. Air kan jadi numpuk," ujarnya.Yang lebih parah, lanjut Manggas, adalah trotoar di Jalan depan Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat. Sepintas, trotoarnya telah memenuhi syarat karena terdapat mulut air yang dialirkan ke selokan. Namun, setelah dicek petugas Dinas PU, mulut air itu tak tersambung ke selokan dan justru tertutup oleh beton lama."Jadi seperti tipu-tipu. Pas disodok petugas saya itu ketutup beton. Ya, air di jalanan pantas tergenang terus," lanjut Manggas.Jokowi yang sedari tadi hanya menganggut pun menyela. "Itulah mengapa saya masuk ke gorong-gorong. Buat melihat ini sudah sesuai perencanaan atau belum. Kan kerja itu memang harusnya kayak gitu. Abis dikerjakan, ya dilihat hasilnya," ujarnya.Waduk Pluit ternyata wewenang pusatJokowi menegaskan, persoalan banjir tidak dapat diselesaikan sendiri oleh Pemprov DKI Jakarta. Pertama, persoalan banjir di Jakarta terkait erat dengan keberadaan 13 sungai besar yang melintas antarprovinsi.Wewenang pengelolaan sungai-sungai itu dipegang oleh Kemen-PU. Sedangkan Jakarta, hanya kebagian pengelolaan sungai kecil, saluran penghubung, dan saluran mikro. Namun, Jokowi mengungkapkan, toh, apa bedanya? Entah sungai atau waduk di bawah wewenang siapa, Pemprov DKI Jakarta tetap bekerja dengan melaksanakan normalisasi aliran sungai."Ada tanggul jebol (Tanggul Latuharhary), kita masuk juga kok. Kayak Waduk Pluit, harusnya itu wewenang siapa? (Pemerintah pusat). Tapi siapa yang mengeruk? Kita-kita juga," ujar Jokowi."Saya enggak mau kalau kerja itu terkotak-kotak. Yang penting semua kerja cepat, fokus, dan tepat sasaran. Karena warga itu ndak mau tahu. Banjir di mana, yang dimaki ya saya," lanjut Jokowi.Mengkhianati undang-undangAnggota Dewan Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta, Firdaus Ali, mengungkapkan, pemerintah pusat mengkhianati Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemprov DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam UU itu DKI Jakarta sebagai kota yang 100 persen memikul operasional pemerintah pusat, memiliki kekhususan pengelolaannya."Jangan merasa karena APBD Jakarta besar, lantas dianggap kaya dan bisa kerja sendiri. Ini pengkhianatan undang-undang namanya, itu enggak boleh seperti itu," tegas Firdaus yang juga peneliti Teknik Lingkungan dari Universitas Indonesia (UI) tersebut.Kebijakan Pemprov DKI yang memberikan sejumlah dana kepada Pemerintah Kota Bogor untuk membongkar vila-vila di daerah aliran sungai (DAS), lanjut Firdaus, seharusnya menjadi sindiran nyata ke pemerintah pusat. Sebab, sesuai dengan Undang-Undang Nomor7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), sungai yang melintasi antarprovinsi di bawah kendali pemerintah pusat, bukan pemerintah provinsi atau kota.Tidak hanya pemerintah pusat yang menurut Firdaus menjegal program penuntasan banjir Pemprov DKI Jakarta, DPRD DKI juga demikian. Sebab, hingga saat ini Rancangan APBD 2014 tak kunjung disahkan. Padahal dalam RAPBD tersebut, terdapat program minimalisasi banjir yang mesti secepatnya dilaksanakan."Jadi teman-teman di Kebon Sirih, berhentilah tarik menarik itu APBD. Cepat sahkan. Kan program-program di APBD itu untuk rakyat juga yang nantinya akan memilih mereka," ujar Firdaus.Melambat-lambatkan pengesahan RAPBD 2014, lanjut Firdaus, akan berimbas negatif pada hal tingkat keterpilihan para wakil rakyat tersebut, nantinya. Firdaus mengatakan, lantas apa salahnya DPRD Jakarta mempercepat pengesahan Rancangan APBD 2014 sebagai langkah untuk di satu sisi menyelamatkan Jakarta, di sisi lain juga menyelamatkan suara?Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Senin (13/1/2014) kemarin, banjir merendam sebanyak 276 RT, 75 RW, di 31 kelurahan dan 18 kecamatan di Jakarta. Sebanyak 7.367 rumah atau 24.269 jiwa terendam banjir. Banjir juga menyebabkan sebanyak 5.152 jiwa mengungsi di 35 titik. Dua orang meninggal dunia akibat tak kuat menahan dingin. (Fabian Januarius Kuwado)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Jokowi: Banjir di mana, yang dimaki ya saya
JAKARTA. Banjir di Jakarta adalah tanggung jawab semua pihak, baik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atau pemerintah pusat. Namun, nyatanya terjadi ketimpangan kerja. Pemerintah pusat dianggap belum optimal membantu Pemprov DKI dalam mengentaskan banjir yang terjadi rutin setiap tahun.Di sela makan siang bersama Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, seusai blusukan ke tiga lokasi berbeda pada Senin (13/1/2014), Kepala Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Manggas Rudy Siahaan malu-malu mengatakan kondisi tersebut. Ia memilih memberikan banyak contoh soal ketimpangan kerja antara pusat dan daerah."Di Jalan Letjend S Parman, trotoar milik pusat (Kementerian Pekerjaan Umum). Tapi di trotoar sana enggak ada mulut airnya untuk mengalirkan air ke selokan. Air kan jadi numpuk," ujarnya.Yang lebih parah, lanjut Manggas, adalah trotoar di Jalan depan Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat. Sepintas, trotoarnya telah memenuhi syarat karena terdapat mulut air yang dialirkan ke selokan. Namun, setelah dicek petugas Dinas PU, mulut air itu tak tersambung ke selokan dan justru tertutup oleh beton lama."Jadi seperti tipu-tipu. Pas disodok petugas saya itu ketutup beton. Ya, air di jalanan pantas tergenang terus," lanjut Manggas.Jokowi yang sedari tadi hanya menganggut pun menyela. "Itulah mengapa saya masuk ke gorong-gorong. Buat melihat ini sudah sesuai perencanaan atau belum. Kan kerja itu memang harusnya kayak gitu. Abis dikerjakan, ya dilihat hasilnya," ujarnya.Waduk Pluit ternyata wewenang pusatJokowi menegaskan, persoalan banjir tidak dapat diselesaikan sendiri oleh Pemprov DKI Jakarta. Pertama, persoalan banjir di Jakarta terkait erat dengan keberadaan 13 sungai besar yang melintas antarprovinsi.Wewenang pengelolaan sungai-sungai itu dipegang oleh Kemen-PU. Sedangkan Jakarta, hanya kebagian pengelolaan sungai kecil, saluran penghubung, dan saluran mikro. Namun, Jokowi mengungkapkan, toh, apa bedanya? Entah sungai atau waduk di bawah wewenang siapa, Pemprov DKI Jakarta tetap bekerja dengan melaksanakan normalisasi aliran sungai."Ada tanggul jebol (Tanggul Latuharhary), kita masuk juga kok. Kayak Waduk Pluit, harusnya itu wewenang siapa? (Pemerintah pusat). Tapi siapa yang mengeruk? Kita-kita juga," ujar Jokowi."Saya enggak mau kalau kerja itu terkotak-kotak. Yang penting semua kerja cepat, fokus, dan tepat sasaran. Karena warga itu ndak mau tahu. Banjir di mana, yang dimaki ya saya," lanjut Jokowi.Mengkhianati undang-undangAnggota Dewan Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta, Firdaus Ali, mengungkapkan, pemerintah pusat mengkhianati Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemprov DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam UU itu DKI Jakarta sebagai kota yang 100 persen memikul operasional pemerintah pusat, memiliki kekhususan pengelolaannya."Jangan merasa karena APBD Jakarta besar, lantas dianggap kaya dan bisa kerja sendiri. Ini pengkhianatan undang-undang namanya, itu enggak boleh seperti itu," tegas Firdaus yang juga peneliti Teknik Lingkungan dari Universitas Indonesia (UI) tersebut.Kebijakan Pemprov DKI yang memberikan sejumlah dana kepada Pemerintah Kota Bogor untuk membongkar vila-vila di daerah aliran sungai (DAS), lanjut Firdaus, seharusnya menjadi sindiran nyata ke pemerintah pusat. Sebab, sesuai dengan Undang-Undang Nomor7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), sungai yang melintasi antarprovinsi di bawah kendali pemerintah pusat, bukan pemerintah provinsi atau kota.Tidak hanya pemerintah pusat yang menurut Firdaus menjegal program penuntasan banjir Pemprov DKI Jakarta, DPRD DKI juga demikian. Sebab, hingga saat ini Rancangan APBD 2014 tak kunjung disahkan. Padahal dalam RAPBD tersebut, terdapat program minimalisasi banjir yang mesti secepatnya dilaksanakan."Jadi teman-teman di Kebon Sirih, berhentilah tarik menarik itu APBD. Cepat sahkan. Kan program-program di APBD itu untuk rakyat juga yang nantinya akan memilih mereka," ujar Firdaus.Melambat-lambatkan pengesahan RAPBD 2014, lanjut Firdaus, akan berimbas negatif pada hal tingkat keterpilihan para wakil rakyat tersebut, nantinya. Firdaus mengatakan, lantas apa salahnya DPRD Jakarta mempercepat pengesahan Rancangan APBD 2014 sebagai langkah untuk di satu sisi menyelamatkan Jakarta, di sisi lain juga menyelamatkan suara?Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Senin (13/1/2014) kemarin, banjir merendam sebanyak 276 RT, 75 RW, di 31 kelurahan dan 18 kecamatan di Jakarta. Sebanyak 7.367 rumah atau 24.269 jiwa terendam banjir. Banjir juga menyebabkan sebanyak 5.152 jiwa mengungsi di 35 titik. Dua orang meninggal dunia akibat tak kuat menahan dingin. (Fabian Januarius Kuwado)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News