Jokowi Beri Jaminan Kesehatan Mantan Menterin Pakai APBN, Pengamat Sebut Tidak Etis



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan untuk mantan menteri menuai tanggapan negatif. Beberapa pengamat menyebut hal ini tidak etis dilakukan dan nir empati.  

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menyebut hal ini tidak etis dilakukan menjelang masa pensiun Presiden. Ia menilai dengan kondisi masyarakat yang mempertanyakan mengenai penggunaan uang pajak mereka, peraturan ini tidak etis ditekan.

Misalnya saja, jika kebijakan tersebut diasumsikan menggunakan premi perusahaan asuransi Allianz platinum dengan range hingga Rp 21 juta per orang setiap bulannya, maka ada pembayaran mencapai Rp 17,6 miliar per tahun yang harus dibayarkan menggunakan APBN, dengan jumlah Menteri dan Setkab mencapai 35 orang dan tanggungan beserta istri atau suami sah mereka.


“Apalagi saya rasa tidak mungkin mereka menggunakan premi dengan range yang paling rendah Rp 1 juta, pasti menggunakan premi yang bagus, contohnya seperti Allianz platinum hingga Rp 21 juta per bulan,” kata Nailul kepada KONTAN, Jumat (18/10). 

Baca Juga: Eks Menteri Dapat Jaminan Kesehatan yang Anggarannya Ditanggung APBN

Nailul mengatakan, angka Rp 17,6 miliar tersebut mungkin terlihat kecil bagi negara, akan tetapi jika dimanfaatkan untuk bantuan sosial, diprediksi bisa membiayai sebanyak 10 ribu masyarakat miskin dan rentan miskin melalui asuransi BPJS kesehatan kelas paling tinggi. 

“Jadi memang nir empati dan nir etika saja itu masalahnya,” kata dia. 

Selaras dengan hal ini, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai bahwa dengan adanya kebijakan tersebut terkait Perpres 121 tahun 2024, akan menjadi beban APBN karena harus mengeluarkan biaya yang sangat banyak untuk menanggung kesehatan para Menteri dan Setkab beserta keluarganya. 

Baca Juga: Eks Menteri Jokowi Dapat Jaminan Kesehatan dari APBN, Ini Penjelasan Istana

Ia menilai, sebaikanya APBN tersebut  dialokasikan atau diintergrasikan untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pasalnya program ini sudah menjamin pembiayaan bagi seluruh rakyat. 

“Jadi tentunya jangan sampai nanti ini menjadi bagian terpisah dari JKN, dan ini seharusnya menjadi hal yang terintegrasi dengan JKN supaya lebih murah biayanya, biayanya lebih efisien, sehingga APBN tidak terbebani,” kata Timboel kepada KONTAN, Jumat (18/10). 

Timboel menilai, Perpres tersebut sangat tidak adil bagi masyarakat miskin. Terlebih, sampai saat ini pemerintahan Jokowi tidak juga mendaftarkan dan membayarkan iuran program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, padahal warga miskin menjadi subjek penting untuk dibiayai oleh program JKK dan JKN. 

“Malah anehnya, masyarakat tidak mampu ini tidak dijamin oleh JKK atau JKM oleh pembayaran APBN, tetapi menteri yang sudah memiliki tabungan banyak dan kaya malah dijamin. Jadi ini tidak memenuhi unsur keadilan,” tandasnya. 

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo baru saja menerbitkan Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 121 Tahun 2024, tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Purnatugas Menteri Negara. Dalam Perpres yang diteken pada 15 Oktober 2024 itu, termaktub bahwa menteri negara yang telah selesai melaksanakan tugas kabinet diberikan kelanjutan jaminan pemiliharaan kesehatan. Ketentuan yang sama juga diberikan kepada Sekretaris Kabinet (Setkab) yang telah selesai melaksanakan tugas kabinet. 

Adapun jaminan pemiliharaan kesehatan tersebut melalui asuransi kesehatan yang ditanggung sepenuhnya oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan berlaku di fasilitas kesehatan milik pemerintah atau badan usaha milik negara (BUMN) di dalam negeri. 

Selanjutnya: Usia Muda Bukan Halangan Punya Rumah Sendiri, Cek Keuntungannya di Sini!

Menarik Dibaca: Jelang Pelantikan Presiden RI, Perjalanan Commuter Line Ditambah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih