Hasil hitung cepat atau
quick count dari banyak lembaga survei mengunggulkan suara pasangan Joko Widodo dan Maruf Amin sebanyak 54%, dibandingkan dengan pasangan Prabowo-Sadiaga Uno yang memperoleh suara 46%. Hasil
quick count itu kembali membuat
Jokowi Effect terhadap perekonomian terutama pasar modal dan pasar uang. Ini terlihat dari sinyalemen
bullish pemodal asing yang masuk untuk meningkatkan perekonomian nasional. Antusias investor asing untuk memainkan modalnya ke dalam negeri pasca pemilu juga besar. Perdagangan saham baru berjalan sekitar satu jam, dana asing yang masuk sudah Rp 1,2 triliun. Jadi, pasar merespons positif terpilih kembalinya Jokowi. Secara year to date, investasi asing yang melakukan beli bersih cukup agresif, sebesar Rp 15,21 triliun. Tiga hari sebelum pemilu, asing melakukan jual bersih Rp 1,95 triliun. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga bergerak ke zona positif. Tak hanya berhenti di situ, Jokowi Effect berdampak pada menguatnya rupiah sebesar 0,6% dalam waktu kurang dari dua bulan terakhir.
Bahkan, tiga lembaga pemeringkat utang internasional (Moodys, Fitch Rating, dan Morgan Stanley) merespons positif hasil pemilu di Indonesia yang berjalan aman, lancar, dan kondusif bagi iklim investasi serta stabilitas ekonomi negeri ini. Hasil quick count menunjukkan bahwa masa jabatan kedua Presiden Joko Widodo bisa mensinkronkan kesinambungan kebijakan pembangunan infrastruktur, sumberdaya manusia, serta meneruskan upaya meminimalisasi hambatan birokrasi. Dengan begitu, iklim investasi dan laju pertumbuhan ekonomi bisa stabil, dan akan mendorong stabilitas di pasar keuangan. Maka mengacu
signaling theory, tak terbantahkan bahwa reli IHSG kali ini merupakan respons positif dari para pelaku pasar. Terutama, investor asing yang kian percaya terhadap prospek ekonomi Indonesia dalam jangka menengah dan panjang. Bahkan, ditengarai akan terjadi peningkatan investasi asing yang akan masuk ke pasar keuangan Indonesia setelah KPU mengumumkan hasil resmi Pemilu 2019. Karena, investor memandang positif kinerja Jokowi pada periode pertama. Beberapa kebijakan yang dianggap berhasil, antara lain kebijakan mempersingkat waktu pembebasan lahan dari 518 hari menjadi sekitar 400 hari. Iklim berbisnis juga membaik. Terbukti dari Indeks Kemudahan Bisnis yang naik dari posisi 128 pada tahun 2013 menjadi 73 pada 2019. Angka kemiskinan juga turun dari 11,5% pada 2013 jadi 9,7% pada 2018, rasio gini membaik dari 0,41 pada 2013 jadi 0,38 pada 2018. Momentum pertumbuhan Itu masih ditambah dengan momentum pertumbuhan ekonomi global maupun domestik. Pendorongnya, kabar baik dari meredanya ketegangan Tiongkok dan AS. Sementara The Fed dalam risalah pertemuan akhir Maret tidak memperkirakan akan menaikkan suku bunga hingga akhir 2019. Penurunan dua risiko tersebut berpotensi meningkatkan pasar negara berkembang. Selain itu, potensi penguatan perekonomian di semester kedua 2019 terlihat dari agregat Indeks Manajer Pembelian (PMI) di seluruh dunia yang pada Maret lalu relatif stabil, setelah jatuh selama 10 bulan berturut-turut. Sementara itu, jumlah negara yang melaporkan ekspansi di sektor manufaktur naik untuk pertama kalinya dalam enam bulan terakhir. Efek global tentu berdampak ke domestik. Bank Indonesia (BI) menilai kegiatan dunia usaha pada triwulan I-2019 diindikasikan tumbuh lebih tinggi dibanding pertumbuhan pada triwulan sebelumnya. Ini tercermin dari nilai saldo bersih tertimbang (SBT) hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) pada triwulan I-2019 sebesar 8,65%, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV-2018 yang 6,19%. Sementara posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2019 meningkat menjadi US$ 124,5 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan posisi Februari 2019 sebesar US$ 123,3 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3,0 bulan impor. Sentimen positif juga datang dari hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 2021 Maret 2019 yang mempertahankan
BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di posisi 6%, suku bunga
deposit facility 5,25%, dan suku bunga l
ending facility 6,75%. Keputusan itu konsisten dengan upaya memperkuat stabilitas eksternal, khususnya untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas aman dan mempertahankan daya tarik aset keuangan domestik. Kebijakan suku bunga dan nilai tukar rupiah tetap difokuskan pada stabilitas eksternal. Sedangkan Bank Indonesia menempuh kebijakan lain yang lebih akomodatif untuk mendorong permintaan dari pasar domestik. Yang paling menggembirakan adalah posisi nilai ekspor Maret 2019 sebesar US$14,03 miliar atau mengalami peningkatan 11,71% dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Peningkatan ekspor Maret 2019 dibandingkan dengan Februari 2019 disebabkan oleh peningkatan ekspor nonmigas sebesar 13% yakni dari US$ 11,46 miliar menjadi US$ 12,94 miliar. Sedangkan ekspor migas turun 1,57% menjadi US$1,09 miliar dari sebelumnya US$1,11 miliar. Secara kumulatif nilai ekspor periode Januari-Maret 2019 mencapai US$ 40,51 miliar atau turun 8,5% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 44,27 miliar. Demikian pula nilai impor bulan Maret 2019 tercatat US$13,49 miliar atau naik 10,31% dibanding bulan Februari 2019, tapi turun 6,79% bila dibandingkan dengan bulan Maret 2018. Impor nonmigas naik 12,24% menjadi US$11,95 miliar, namun impor migas turun US$ 42,8 juta atau sekitar 2,70%. Penurunan tersebut dipicu oleh turunnya impor hasil minyak dan gas masing-masing sebesar US$ 72, 2 juta dan US$ 1,8 juta. Sehingga, neraca perdagangan Indonesia pada bulan Maret 2019 mencatat surplus sebesar US$ 0,54 miliar. Melihat hal tersebut, tentu ada tugas yang harus diselesaikan oleh pemenang Pemilu 2019. Pertama, pemenang pemilu bisa mewujudkan kesinambungan dan konsistensi kebijakan demi menciptakan kepastian berusaha. Selain itu, seyogianya pemerintah melanjutkan dan mengakselerasi pembangunan ekonomi yang sudah berjalan dengan baik. Kedua, memprioritaskan kebijakan pembangunan sumberdaya manusia (SDM), agar produktivitas dan daya saing meningkat. Reformasi birokrasi harus lebih ditingkatkan, supaya perizinan berusaha lebih mudah.
Ketiga, perlunya kerja keras calon presiden dan wakil presiden pemenang pemilu untuk kembali menyatukan simpul-simpul hubungan sosial kemasyarakatan yang sempat terkoyak menjelang pemilu. Hal ini menjadi penting, karena sinergi anak bangsa mutlak diperlukan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara maju, hebat dan bermartabat. Ke depan harapannya,
Jokowi Effect akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi. Semoga.♦
Chandra Bagus Sulistyo Pemimpin Bidang Pemasaran Bisnis BNI Blitar Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi