Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 membuat pasangan Jokowi-Maruf secara sah menjadi pemimpin Indonesia lima tahun ke depan. Respons pelaku pasar menunjukkan keputusan ini sudah di-priced in dan tercermin dari kinerja indeks saham beberapa minggu terakhir. Risiko jangka pendek politik mengecil, namun kita harus melihat kebijakan strategis apa untuk memajukan ekonomi Indonesia lima tahun ke depan. Sebelumnya pada kolom ini saya menulis tentang pentingnya industri manufaktur untuk menghindari middle-income trap. Dengan pendapatan per kapita US$ 3.927 pada 2018, Indonesia masuk kategori negara pendapatan menengah ke atas. Untuk masuk dalam negara pendapatan tinggi, Indonesia perlu industri manufaktur tumbuh di atas 5% untuk menghindari jebakan tersebut. Industri manufaktur dapat berperan sebagai sektor transisi dalam transformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan keterkaitan antar-sektor. Selain itu, manufaktur adalah sektor yang paling dapat memanfaatkan perbaikan infrastruktur dan penurunan biaya logistik.
Dalam visi Nawacita Jilid II, industri manufaktur menjadi salah satu program ekonomi yang berfokus pada hilirisasi industri, pemberian insentif investasi dan revitalisasi industri. Beberapa hal itu sudah dilakukan pemerintah dengan menerbitkan insentif yang lebih menarik terkait tax holiday dan tax incentives. Perpanjangan jangka waktu libur pajak serta peningkatan besaran dan cakupan insentif fiskal merupakan hal yang diperlukan oleh sektor swasta. Namun, sebagai salah satu solusi terhadap defisit neraca perdagangan belakangan ini, pemerintah juga perlu menambah kriteria jumlah atau persentase ekspor ke dalam skema libur pajak dan insentif fiskal. Korporasi besar berbasis ekspor akan tertarik menanamkan modalnya pada industri manufaktur Indonesia. Dalam jangka panjang, tentu saja hal ini juga memperkuat dan dapat mendiversifikasi struktur ekspor Indonesia. Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok tetap menjadi risiko jangka menengah bagi neraca perdagangan dan indikator makroekonomi lainnya. Pada Mei 2019, ekspor Indonesia kontraksi 9% dibandingkan Mei sebelumnya. Tetapi ada beberapa hal menarik yang perlu dicermati terkait kinerja ekspor beberapa bulan terakhir. Terlepas dari faktor lain, ekspor Mei 2019 naik 12,4% dibandingkan bulan sebelumnya. Peningkatan ini terjadi hampir di seluruh sektor ekonomi. Ekspor tujuan AS dan Tiongkok tercatat naik US$ 179,2 juta dan US$ 153,3 juta.Hal ini mengindikasikan Indonesia sebenarnya bisa memanfaatkan kondisi global yang tak kondusif menjadi peluang meningkatkan ekspor ke negara yang terlibat perang dagang. Kenaikan signifikan ekspor perhiasan dan pakaian jadi menjadi bukti product competitiveness Indonesia meningkat di pasar global. Oleh karenanya, pemerintah perlu lebih tanggap dan cepat merespons perubahan situasi terkait perang dagang. Market intelligence di beberapa pasar utama seperti AS, Tiongkok, India, Eropa dan Timur Tengah perlu ditingkatkan dan ditindaklanjuti. Beberapa produk atau komoditas Indonesia yang berpotensi di pasar global adalah produk turunan kelapa, kertas dan plywood. Melihat sisi makroekonomi, selain fluktuasi global, pemerintah perlu memikirkan cara memaksimalkan anggaran untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menyadari salah satu penyokong pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rumah tangga. Oleh karena itu, peningkatan bantuan sosial menjadi Rp 385 triliun diperlukan untuk mempertahankan daya beli masyarakat berpendapatan rendah. Sementara konsumsi masyarakat lapis menengah ke atas terbantu kehadiran fintech. Walaupun nilainya masih relatif kecil, diperkirakan fintech mengeluarkan uang triliuan rupiah dalam bentuk diskon transaksi tahun lalu. Hal itu cukup berpengaruh dalam menstimulasi pengeluaran rumah tangga kelas menengah di kota besar yang banyak menggunakan aplikasi tersebut. Pada 2018, total transaksi uang elektronik Rp 47,2 triliun atau meningkat hampir empat kali lipat dibandingkan 2017. Oleh karenanya, peran regulator dalam supervisi fintech pembayaran semakin penting untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan kepercayaan masyarakat. Bagaimanapun, fintech dan uang elektronik membantu target pencapaian inklusi finansial pemerintah. Selanjutnya, Bank Indonesia (BI) sudah mengeluarkan sinyal mendukung pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Dengan rendahnya inflasi sepanjang 2019 dan membaiknya persepsi investor global terhadap Indonesia, terdapat ruang cukup besar bagi BI untuk menurunkan tingkat suku bunga acuan. Tentu saja, jika bulan ini BI menurunkan tingkat suku bunga 7-days Repo Rate, akan memberikan angin segar bagi sektor perbankan. Melonggarnya likuiditas dan naiknya margin suku bunga diharapkan dapat meningkatkan kredit perbankan ke dunia usaha. Yang perlu diperhatikan dalam penyaluran kredit adalah risiko global beberapa sektor akibat perang dagang. Selain itu, adanya indikasi trade war dapat menjadi currency war perlu diantisipasi lebih lanjut agar tidak membebani neraca transaksi berjalan. Sinyal dari Bank Sentral Eropa dan Tiongkok untuk merelaksasi kebijakan moneter dapat diartikan sebagai tindakan mendevaluasi mata uang.
Stabilitas ekonomi, perbaikan iklim investasi dan pembangunan infrastruktur menjadi tema besar pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla lima tahun lalu. Beberapa masalah fundamental sudah diperbaiki, seperti percepatan perizinan dan perbaikan infrastruktur transportasi. Selama lima tahun ke depan, pembangunan industri manufaktur dan perbaikan kualitas SDM tenaga kerja Indonesia diharapkan menjadi tema besar pemerintah Jokowi-Maruf. Dengan demikian, perekonomian Indonesia jauh lebih baik untuk mendapatkan title sebagai negara maju di masa depan.
Andre Simangunsong Peneliti Senior Bank Mandiri Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi