JAKARTA. Selama satu tahun Kartu Jakarta Sehat diterapkan bagi warga miskin di Jakarta, belum pernah ada laporan pemeriksaan yang disampaikan oleh Inspektorat DKI Jakarta. Untuk itu, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) diajak untuk mengaudit program tersebut.Hal itu disampaikan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo seusai menghadiri pertemuan komunitas peduli Kali Ciliwung, di Condet, Balekambang, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur, Minggu (10/11). ”Belum ada suara apa-apa (dari Inspektorat). Tapi, saya pakai BPK untuk audit (KJS),” kata Jokowi.Menurut Jokowi, dia menggunakan BPK menjadi auditor untuk pelayanan KJS sebagai opini kedua di luar lingkungan Pemerintah Provinsi DKI. ”Kalau saya lihat di bawahnya (pelaksanaan KJS) tak ada masalah. Hanya memang di lapangan tetap dievaluasi lagi oleh BPK,” katanya.BPK, lanjut Jokowi, akan mengaudit pelaksanaan KJS di lapangan, terutama terkait pelayanan KJS kepada masyarakat. ”Kami gunakan BPK biar jelas apa kekurangan di pelayanan KJS,” katanya.Sebelumnya, BPK belum lama ini telah merilis audit sementara mereka terhadap pelayanan yang diberikan paramedis di rumah sakit kepada peserta KJS. Dari hasil audit itu ditemukan bahwa, ada paramedis memberikan obat bagi pasien KJS di luar obat generik.Menurut Kepala BPK perwakilan DKI Jakarta, Blucer W Rajagukguk, ditemukan pula mutu pelayanan yang diberikan paramedis di rumah sakit kepada pasien KJS masih rendah. ”Rumah sakit juga belum memberikan informasi yang lengkap terkait ketersediaan ruang rawat inap kelas tiga kepada pasien KJS,” katanya beberapa waktu lalu.KJS diluncurkan pertama kali oleh Jokowi pada 10 November 2012 di Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Kala itu sekitar 1.000 warga memperoleh KJS.Beberapa bulan kemudian, pada Mei 2013, dilakukan penyempurnaan pada kartu KJS. Semula kartunya dicetak biasa, kemudian disempurnakan dengan dilengkapi kode batang (barcode). Dengan demikian, peserta KJS cukup menunjukkan kartu dan petugas di rumah sakit dapat langsung mengakses data pasien dengan menggunakan alat pembaca barcode di kartu tersebut.Yana (32), warga Duren Sawit, Jakarta Timur, mengatakan, dirinya cukup terbantu KJS. Penghasilan Rp 300.000 per bulan dari pekerjaannya mengangkat sampah warga di kawasan Pisangan ke truk untuk dibawa ke TPA Bantar Gebang, tidak cukup untuk biaya pengobatan bagi anaknya yang sering sakit.Meskipun demikian, Yana mengaku sering kecewa. ”Selain antre lama untuk dapat kamar, kalau menebus obat juga suka enggak ada. Jadi terpaksa beli di luar. Daripada anak saya kian parah,” tuturnya, yang harus mengeluarkan sekitar Rp 100.000 hingga Rp 150.000 untuk membeli obat anaknya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Jokowi minta BPK audit KJS
JAKARTA. Selama satu tahun Kartu Jakarta Sehat diterapkan bagi warga miskin di Jakarta, belum pernah ada laporan pemeriksaan yang disampaikan oleh Inspektorat DKI Jakarta. Untuk itu, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) diajak untuk mengaudit program tersebut.Hal itu disampaikan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo seusai menghadiri pertemuan komunitas peduli Kali Ciliwung, di Condet, Balekambang, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur, Minggu (10/11). ”Belum ada suara apa-apa (dari Inspektorat). Tapi, saya pakai BPK untuk audit (KJS),” kata Jokowi.Menurut Jokowi, dia menggunakan BPK menjadi auditor untuk pelayanan KJS sebagai opini kedua di luar lingkungan Pemerintah Provinsi DKI. ”Kalau saya lihat di bawahnya (pelaksanaan KJS) tak ada masalah. Hanya memang di lapangan tetap dievaluasi lagi oleh BPK,” katanya.BPK, lanjut Jokowi, akan mengaudit pelaksanaan KJS di lapangan, terutama terkait pelayanan KJS kepada masyarakat. ”Kami gunakan BPK biar jelas apa kekurangan di pelayanan KJS,” katanya.Sebelumnya, BPK belum lama ini telah merilis audit sementara mereka terhadap pelayanan yang diberikan paramedis di rumah sakit kepada peserta KJS. Dari hasil audit itu ditemukan bahwa, ada paramedis memberikan obat bagi pasien KJS di luar obat generik.Menurut Kepala BPK perwakilan DKI Jakarta, Blucer W Rajagukguk, ditemukan pula mutu pelayanan yang diberikan paramedis di rumah sakit kepada pasien KJS masih rendah. ”Rumah sakit juga belum memberikan informasi yang lengkap terkait ketersediaan ruang rawat inap kelas tiga kepada pasien KJS,” katanya beberapa waktu lalu.KJS diluncurkan pertama kali oleh Jokowi pada 10 November 2012 di Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Kala itu sekitar 1.000 warga memperoleh KJS.Beberapa bulan kemudian, pada Mei 2013, dilakukan penyempurnaan pada kartu KJS. Semula kartunya dicetak biasa, kemudian disempurnakan dengan dilengkapi kode batang (barcode). Dengan demikian, peserta KJS cukup menunjukkan kartu dan petugas di rumah sakit dapat langsung mengakses data pasien dengan menggunakan alat pembaca barcode di kartu tersebut.Yana (32), warga Duren Sawit, Jakarta Timur, mengatakan, dirinya cukup terbantu KJS. Penghasilan Rp 300.000 per bulan dari pekerjaannya mengangkat sampah warga di kawasan Pisangan ke truk untuk dibawa ke TPA Bantar Gebang, tidak cukup untuk biaya pengobatan bagi anaknya yang sering sakit.Meskipun demikian, Yana mengaku sering kecewa. ”Selain antre lama untuk dapat kamar, kalau menebus obat juga suka enggak ada. Jadi terpaksa beli di luar. Daripada anak saya kian parah,” tuturnya, yang harus mengeluarkan sekitar Rp 100.000 hingga Rp 150.000 untuk membeli obat anaknya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News