Jokowi siap ambil risiko kenaikan BBM



JAKARTA. Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) harus menelan pil pahit pada masa pemerintahannya selama lima tahun ke depan. Pil pahit tersebut berupa keputusan untuk mengambil kebijakan yang tidak populis bagi rakyat Indonesia.

Di masa pemerintahannya, Jokowi-JK harus menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang telah diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 15 Agustus lalu. Masalahnya adalah postur APBN 2015 menyediakan ruang fiskal yang sempit buat Pemerintahan Jokowi-JK.

Jokowi sangat menyadari tugas berat yang bakal dipikul pemerintahannya ialah subsidi yang sangat besar terutama bahan bakar minyak (BBM). Itu sebabnya, dia siap mengerek harga BBM bersubsidi.  Ia menyatakan juga siap tak populer di mata rakyat lantaran menaikkan harga BBM demi menyehatkan fiskal negara. "Saya siap mengambil pahitnya, mau kotor-kotoran, dan tidak populer sekarang, asalkan selanjutnya Indonesia menjadi lebih baik," tegas Jokowi kepada KONTAN dalam wawancara khusus.


Untuk memperlebar ruang fiskal, Tim Transisi Jokowi-JK sudah bertemu dengan Wakil Presiden Boediono kemarin (2/9). Salah satu materi pembahasannya adalah mengenai RAPBN 2015. "Dalam pembicaraan tersebut disampaikan program baru yang diajukan Jokowi," kata Yopie Hidayat, juru bicara Wakil Presiden.

Menurut David Sumual, ekonom Bank Central Asia (BCA), merestrukturisasi RAPBN 2015 memang menjadi pekerjaan rumah (PR) utama Pemerintahan Jokowi-JK. Sebab, RAPBN 2015 bentukan Pemerintahan SBY kurang marketable. Jadi, perlu restrukturisasi APBN khususnya dari sisi belanja dan pendapatan negara. "Pembenahan birokrasi, khususnya Direktorat Jenderal Pajak perlu dioptimalkan," ujarnya.

Enny Sri Hartati, ekonom dari Indef, menimpali, PR lainnya yang mendesak dilakukan Jokowi-JK adalah memperbaiki kondisi fiskal yang sudah rusak. Saat ini, utang pemerintah semakin menggunung lantaran pendapatan negara tidak mampu membayar semua belanja pemerintah. Alhasil, lebih besar pasak dari tiang.

Kondisi ini disebut defisit keseimbangan primer. "Dalam bahasa sederhana, perekonomian saat ini tekor. Sebab, pendapatan pemerintah tidak sanggup bayar bunga atau cicilan utang. "Jokowi-JK harus melakukan efisiensi belanja dan menggenjot pendapatan negara,” kata Enny.

Tapi, Didin Damanhuri, ekonom Institut Pertanian Bogor, mengingatkan, agar Jokowi jangan terlalu drastis memangkas subsidi untuk rakyat. "Subsidi  adalah amanat konstitusi. Subsidi harus diberikan ke program yang tepat sasaran. Kalau tidak tepat, subsidi bisa dicabut," ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto