KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemilihan Presiden (Pilpres) telah terselenggara pada Rabu (17/4) kemarin. Berdasarkan hasil hitung cepat (
quick count) sejumlah lembaga survei, pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan KH. Ma'ruf Amin berhasil mengungguli Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Berdasarkan hitung cepat Litbang Kompas, misalnya, Presiden petahana Jokowi, unggul dengan perolehan suara 54,43%. Sementara perolehan suara sang penantang, Prabowo-Sandi, berada di angka 45,57%. Menurut pengamat ekonomi energi dan pertambangan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, capaian dalam quick count tersebut berkorelasi positif dengan tingkat kepuasan terhadap petahana yang dalam sejumlah survei sebelumnya terpotret dengan rata-rata mencapai 60%.
Fahmy menilai, salah satu variabel signifikan dari tingkat kepuasan tersebut adalah pencapaian pemerintah di dalam sektor energi. Melalui kebijakan Nawacita, lanjut Fahmy, pemerintah telah mengerjakan sejumlah program yang dapat dinilai sebagai upaya untuk mewujudkan energi berkeadilan dan kedaulatan energi. Seperti pengurangan subsidi energi yang dialihkan dari konsumsi ke produksi, Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga, dan peningkatan rasio elektrifikasi. "Sedangkan dalam kedaulatan energi, dilakukan dengan mengalihkan pengelolaan lahan migas dan pertambangan dari perusahaan asing ke BUMN (Badan Usaha Milik Negara)," kata Fahmy melalui keterangan tertulisnya, Kamis (18/4). Dalam hal pengurangan subsidi yang dialihkan dari konsumsi ke produksi, Fahmy menyampaikan bahwa pada tahun 2014, alokasi subsidi energi mencapai Rp. 306,45 triliun. Angka itu kemudian turun drastis pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 menjadi Rp 94,5 triliun. Menurut Fahmy, pengurangan alokasi subsidi yang dialihkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan program pengentasan kemiskinan itu telah ikut mengurangi kesenjangan dan kemiskinan di tanah air. "Pada tahun 2014 indeks rasio gini ada pada kisaran 0,41 kemudian turun menjadi 0,38. Pada tahun 2014 angka kemiskinan masih double digit 11,25%, dan tahun 2018 menjadi 9,82%," terangnya. Selanjutnya, kebijakan BBM satu harga dinilai bisa memberikan multiplier effect dan juga mengurangi beban rakyat, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur, terutama di Papua. Pasalnya, harga Premium di Papua sebelum ada program ini berkisar di angka Rp 25.000 hingga Rp 100.000 per liter, sedangkan harga di Jawa hanya sebesar Rp 6.450 per liter. Selain itu, ada juga program rasio elektrifikasi yang melampaui target. Pada tahun 2017, lanjut Fahmy, rasio elektrifikasi sudah mencapai 93,08%, lebih tinggi daripada target ditetapkan sebesar 92,75%. "Untuk mencapai rasio elektrifikasi 100%, Pemerintah menerapkan program percepatan, untuk mempercepat elektrifikasi di 2.500 desa yang belum berlistrik," ujarnya. Di samping itu, masih terkait dengan sektor kelistrikan, pemerintah juga tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir tahun 2019. "Subsidi listrik juga masih diberikan kepada pelanggan 450 W, serta 30% pelanggan 900 W, yang termasuk kategori keluarga miskin dan rentan miskin," imbuh Fahmy. Sementara dalam kebijakan yang mendukung kedaulatan energi, sambung Fahmy, pengelolaan Blok Mahakam dari Total E&P Indonesia dan Blok Rokan dari Chevron yang dialihkan ke Pertamina menjadi preseden positif.
"Keberhasilan dalam divestasi 51% saham Freeport setelah 51 tahun juga merupakan capaian kinerja yang nyata," sebut Fahmy. Sehingga, dengan sejumlah kebijakan tersebut dan hasil quick count saat ini, Fahmy menilai bahwa ada urgensi keberlanjutan bagi program pembangunan di sektor energi. "Berdasarkan
quick count, tampaknya rakyat melihat ada urgensi untuk menjaga keberlanjutan di sektor energi pada 2019-2024," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto