JPMorgan turunkan rating pasar saham China ke netral



KONTAN.CO.ID - NEW YORK. JP Morgan Chase & Co menghentikan rating bullish pasar saham China. Hal ini diputuskan lantaran kemungkinan samakin memanasnya perang dagang antara China dan Amerika Serikat hingga tahun depan.

Peningkatan perang dagang terindikasi dengan kebijakan AS dalam memaksimalkan tarif impor China. Imbasnya dolalr AS menguat sedangkan Yuan melemah lebih dalam.

Ahli strategi JPMorgan terdiri dari Pedro Martins Junior, Rajiv Batra and Sanaya Tavaria menulis dalam sebuah laporan, pihaknya menurunkan rating pasar saham China dari overweight menjadi netral. Apalagi pasar yang ditutup selama satu minggu untuk liburan berimbas pada iShares China Large-Cap ETF turun ke level terendah dua minggu di New York di posisi US$ 4,9 miliar.


Langkah yang diambil oleh JPMorgan mengikuti aksi serupa oleh Morgan Stanley, Nomura Holdings Inc. dan Jefferies Group di awal tahun. Sementara itu, JPMorgan juga memangkas target dan estimasi pendapatan MSCI China Index lantaran sudah turun 24% dari puncaknya pada Januari lalu.

Para ahli strategi masih mengharapkan indeks saham china dapat rebound sebanyak 85 poin atau menguat 8,9% dari penutupan pasar pada rabu kemarin.

"Perang dagang besar-besaran ini menjadi skenario kasus dasar baru kami untuk menilai 2019. Tidak ada tanda yang jelas dalam mengurangi konfrontasi antara China dan AS dalam waktu dekat," tulis JPMorgan seperti dilansir Bloomberg, Kamis (4/10).

Ketegangan antara Washinton dan Beijing memanas lagi minggu lalu ketika pemerintah Trump menaikan tarif 10% terhadap sekitar US$ 200 miliar produk China. Pemerintah Xi membalas hal serupa terhadap produk AS senilai US$ 60 miliar. Hal ini memupuskan solusi cepat atas sengketa dagang dua raksasa ekonomi dunia.

JPMorgan juga merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi China pada 2019 dari 6,2% menjadi 6,1%. Para ahli melihat perang dagang dapat menurunkan 1% perekonomian China.

"Tarif AS yang lebih tinggi akan menekan margin keuntungan manufaktur China, mengurangi insentif investasi dan lapangan kerja. Kemudian akan menyeret pada konsumsi lantaran kurangnya pendapatan," tulis mereka.

Editor: Narita Indrastiti