JAKARTA. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudi Rubiandini menyatakan, penjualan gas alam cair (LNG) ke Fujiyan, China, tidak menghasilkan pendapatan yang signifikan. Padahal, jumlah gas yang dijual mencapai 11% dari total ekspor LNG.Nilai penjualan gas LNG ke Fujiyan hanya sebesar US$ 931 juta. Rudi membandingkan dengan penjualan LNG ke Taiwan yang mencapai sebesar US$ 1,8 miliar. Padahal, total ekspor ke Taiwan hanya sebesar 9%.Catatan saja, produksi gas LNG nasional sebagian besar diekspor ke Jepang. Dari ekspor 41% produksi LNG ke Jepang, negara memperoleh US$ 4,9 miliar. Selanjutnya sebanyak 38% dikirim ke Korea dan menghasilkan US$ 4,9 milyar. Sisanya sebanyak 1% dijual ke Amerika dan Thailand.Rudi menjelaskan, minimnya pendapatan negara ini karena rendahnya harga gas. Berdasarkan kontrak, harga jual LNG ke China menggunakan formula batas atas harga minyak sesuai patokan Japan Cocktail Crude (JCC). Batas atas harga minyak yang berlaku saat ini yaitu US$ 38 per barel. Sehingga harga gas sebanyak 2,6 juta ton per tahun itu dipatok US$ 3,35 per milyar british thermal unit (mmbtu).Karena pendapatannya kecil, Rudi menyatakan renegosiasi harga harus dilakukan. “Tetap harus direnegosiasi karena kan tetap akan menaikkan penerimaan,” ujarnya, kemarin.Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita Legowo mengaku sudah memulai pembicaraan internal terkait strategi renegosiasi yang akan dipakai pemerintah. Pemerintah sejauh ini sudah menyiapkan dua tim renegosiasi, yaitu tim dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan tim pemerintah di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian. “Kami ingin mulai renegosiasi Juli," katanya.Evita mengaku sudah membatas masalah renegosiasi dengan Menteri ESDM Jero Wacik. Namun, dia mengatakan, pembahasan itu belum tuntas.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Jual LNG murah ke China, negara raih US$ 931 juta
JAKARTA. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudi Rubiandini menyatakan, penjualan gas alam cair (LNG) ke Fujiyan, China, tidak menghasilkan pendapatan yang signifikan. Padahal, jumlah gas yang dijual mencapai 11% dari total ekspor LNG.Nilai penjualan gas LNG ke Fujiyan hanya sebesar US$ 931 juta. Rudi membandingkan dengan penjualan LNG ke Taiwan yang mencapai sebesar US$ 1,8 miliar. Padahal, total ekspor ke Taiwan hanya sebesar 9%.Catatan saja, produksi gas LNG nasional sebagian besar diekspor ke Jepang. Dari ekspor 41% produksi LNG ke Jepang, negara memperoleh US$ 4,9 miliar. Selanjutnya sebanyak 38% dikirim ke Korea dan menghasilkan US$ 4,9 milyar. Sisanya sebanyak 1% dijual ke Amerika dan Thailand.Rudi menjelaskan, minimnya pendapatan negara ini karena rendahnya harga gas. Berdasarkan kontrak, harga jual LNG ke China menggunakan formula batas atas harga minyak sesuai patokan Japan Cocktail Crude (JCC). Batas atas harga minyak yang berlaku saat ini yaitu US$ 38 per barel. Sehingga harga gas sebanyak 2,6 juta ton per tahun itu dipatok US$ 3,35 per milyar british thermal unit (mmbtu).Karena pendapatannya kecil, Rudi menyatakan renegosiasi harga harus dilakukan. “Tetap harus direnegosiasi karena kan tetap akan menaikkan penerimaan,” ujarnya, kemarin.Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita Legowo mengaku sudah memulai pembicaraan internal terkait strategi renegosiasi yang akan dipakai pemerintah. Pemerintah sejauh ini sudah menyiapkan dua tim renegosiasi, yaitu tim dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan tim pemerintah di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian. “Kami ingin mulai renegosiasi Juli," katanya.Evita mengaku sudah membatas masalah renegosiasi dengan Menteri ESDM Jero Wacik. Namun, dia mengatakan, pembahasan itu belum tuntas.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News