Juklak Pasar Modern Molor Lagi



JAKARTA. Lagi-lagi, aturan petunjuk pelaksana (juklak) tentang pasar modern urung terbit. Hal itu dikarenakan, belum adanya titik temu antara peritel dengan pemasok mengenai persyaratan perdagangan. Padahal, pembahasan mengenai hal itu sudah dilakukan sejak tujuh bulan silam.

Juklak Peraturan Presiden No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern (perpres Pasar Modern) masih tersangkut pada masalah penjabaran persyaratan perdagangan (trading term) antara peritel dan pemasok.

"Permasalahannya terletak pada terminologi trading term," ucap Gunaryo Direktur Bina Pasar dan Distribusi, Departemen Perdagangan, hari ini di Jakarta.


Gunaryo mencontohkan, biaya promosi harus jelas dibebankan kepada pihak yang mana. "Soalnya itu terkait dengan penjualan langsung atau tidak. Dari pihak ritel modern sendiri ada yang mengatakan masuk dan ada yang tidak. Itu yang mau kita samakan persepsinya," tambahnya.

Selain itu, Gunaryo juga sedang mengkaji implikasi dari trading term. "Misal, kalau ada angka persentase, maka kita harus mengkaji dulu berapa penjualannya dan semacamnya," ucapnya. Yang jelas, kata Gunaryo, aturannya akan dibuat secara jelas. "Sehingga, tidak terjadi pertentangan antara peritel dengan pemasok karena salah persepsi," tambahnya. Sayang, Gunaryo belum bisa memastikan kapan perumusan juklak ini akan selesai.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) Susanto menilai, para pelaku usaha pemasok barang saat ini sudah gerah. Pasalnya, selama ini ritel modern sering mengenakan pungutan yang besarannya tidak sesuai dengan kantong pemasok. "Sekarang masih ada anggota kita yang kena biaya 67% untuk memasok ke ritel besar," ujarnya.

Susanto berharap, pemerintah segera mengeluarkan juklak ini. "Harus sesegera mungkin. Kalau bisa minggu depan sudah siap," katanya. Dengan demikian, juklak tersebut bisa menuntun para pemasok ke situasi yang kondusif. "Ritel besar biar tahu kalau negara kita punya aturan," ucapnya kesal.

Sutanto berharap, jika juklak ini terbit, para pemasok memiliki posisi tawar dengan pihak peritel. “Prinsipnya, para pemasok bisa mendapat fasilitas keringanan biaya,” katanya. Keringanan itu, jelasnya, bisa berupa fix credit 1%, conditioner credit 1% dan promotion budget 3%. “Sehingga totalnya cukup 5% saja," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie