Jumlah demonstran yang tewas di Libya membengkak menjadi 170 jiwa



MANAMA. Pasukan militer Libya kembali menyerang demonstran antipemerintah malam kemarin. Menurut Human Rights Watch, serangan itu menyebabkan jumlah demonstran yang tewas dalam lima hari aksi unjuk rasa mencapai 170 jiwa lebih. Terkait hal itu, Pemerintah AS dan Inggris menyatakan keprihatinannya. Menteri Luar Negeri Inggris William Hague mengatakan kepada Saif Qaddafi, putra Muammar Kadhafi melalui sambungan telepon, tindakan pemerintah Libya sangat tidak bisa diterima dan bisa dikenai sanksi internasional. Sekadar informasi, Libya yang memiliki cadangan minyak paling besar di wilayah Afrika, menjadi poin utama aksi protes setelah kekerasan terjadi di Yaman, Djibouti, dan Bahrain. Selain itu, aksi demonstrasi juga dikabarkan terjadi di Iran dan Maroko. Sejumlah analis mengatakan, ada kemungkinan ketegangan politik ini menyebar hingga ke Arab Saudi, yang merupakan negara pengekspor minyak terbesar dunia. "Ini momen penuh darah, namun para pemimpin itu akhirnya sadar apa yang tengah terjadi. Kita lihat apa yang terjadi di Yaman, sementara di kawasan Teluk digelar pertemuan darurat. Mereka tidak bisa lagi mengabaikannya," jelas Helmy Sharawy, director African Arab Research Center di Cairo. Setidaknya, ratusan jiwa melayang di Libya akibat aksi unjuk rasa ini. Sejumlah saksi di Benghazi mengatakan, jumlah mereka yang tewas sudah melampaui 200 jiwa dan 800 lainnya luka-luka. Travel warning ASSementara itu, pemerintah AS mengeluarkan travel warning untuk Libya dengan alasan bentrokan sudah terjadi di enam kota di Timur Libya, termasuk Benghazi. "Sejauh ini, tentara Libya masih loyal dengan Muammar Kadhafi. Sepertinya mereka akan terus menembaki pelaku unjuk rasa," jelas Senator AS Richard Lugar.


Editor: Barratut Taqiyyah Rafie