Jumlah fintech lending di Indonesia sudah berkurang 42 sepanjang 2021, ini alasannya



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Di saat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah melakukan moratorium untuk pendaftaran pemain fintech lending baru, ada 42 pemain yang malah mengembalikan tanda terdaftarnya sepanjang tahun 2021. Ini membuat jumlah pemain fintech di tanah air tinggal 107 pemain per 8 September 2021.

Kesulitan melanjutkan kegiatan operasional karena perebutan pangsa pasar yang ketat pun menjadi salah satu persoalan yang dialami.

Betul saja, di saat kebutuhan pendanaan UMKM yang sebenarnya masih sangat besar, kontribusi pemain fintech lending masih belum merata. OJK mencatat 20% penyelenggara telah menguasai 77,5% dari pangsa pasar.


“Pasar industri P2P lending ini, kompetisinya sangat besar. Tantangan utamanya adalah pengembangan ekosistem dan model bisnis, keandalan sistem elektronik, dan permodalan,” kata Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W Budiawan.

Baca Juga: Begini upaya UMKM bertahan di tengah pandemi Covid-19

Bambang menyebutkan, setidaknya tiga tantangan tersebut sulit dilewati oleh beberapa pemain fintech. Hingga akhirnya, beberapa pemain memilih mundur dan mengembalikan tanda terdaftarnya.

Tiga tantang yang harus dihadapi fintech saat ini, pertama adalah banyak model bisnis yang ditawarkan tak mampu mendapatkan antusiasme pengguna. Alhasil, pendapatan perusahaan rendah dan tak mampu menopang biaya.

Kedua, sistem elektronik yang kurang memadai juga menghambat proses underwriting secara handal. Sehingga, sistemnya tak mampu menghasilkan scoring yang mampu melakukan profiling yang lebih akurat.

“Kekuatan P2P lending adalah teknologi informasi (TI) karena keseluruhan proses lebih banyak bertumpu pada TI. Bisnis P2P lending membutuhkan komitmen untuk investasi pada TI,” imbuh Bambang.

Terakhir, terkait permodalan yang sampai saat ini banyak penyelenggara bermodal kecil yang tidak mampu beroperasi karena kehabisan modal. Bambang menilai syarat permodalan yang saat ini sebesar Rp 2,5 miliar harus ditingkatkan agar pemain yang benar-benar terdaftar bisa memiliki modal yang cukup untuk bertahan di fase awal sebelum mampu menghasilkan laba.

“Dalam 3 tahun operasi, mayoritas penyelenggara belum mampu menghasilkan laba dan modalnya terus tergerus,” ungkap Bambang.

Adapun, Bambang juga menyebutkan bahwa OJK akan memfasilitasi kemungkinan adanya aksi merger atau akuisisi ke depannya untuk memperkuat industri ini. Hal tersebut berupa persyaratan dan ketentuan yang menjadi pedoman dalam proses merger atau akuisisi yang akan tertuang dalam POJK baru.

Baca Juga: Tak mau kalah, BPD juga tengah menggenjot pengembangan digitalisasi

“Namun motif untuk melakukan aksi tersebut dikembalikan kepada masing-masing penyelenggara,” pungkas Bambang.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) Kuseryansyah pun pernah bilang bahwa pemain fintech lending yang mudah bertahan ialah pemain yang memiliki keterkaitan dengan ekosistem tertentu, selain tentunya perlu memiliki keunggulan yang memadai.

“Keterkaitan dengan ekosistem digital juga akan sangat mendorong percepatan pertumbuhan fintech,” ujar Kuseryansyah.

Oleh karenanya, pemain fintech lending memiliki tantangan untuk segera memperbanyak kolaborasi dalam rangka memperkuat ekosistem usahanya. Kus bilang salah satu alternatif yang bisa dilakukan ialah melalui merger.

Selanjutnya: Bank kecil akan marak berburu modal di pasar saham menjelang akhir tahun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari