KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut per 8 September jumlah penyelenggara
fintech peer-to-peer lending atau
fintech lending yang terdaftar dan berizin di OJK mencapai 107 perusahaan. Padahal, per Desember 2020 lalu ada lebih dari 160 penyelenggara
fintech lending. Artinya jumlah
fintech lending menyusut drastis sehingga tinggal menjadi 107 penyelenggara pada 8 September 2021. Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W Budiawan menjelaskan, ada beberapa hal kenapa pemain
fintech lending berkurang.
Baca Juga: Ingin take over KPR ke bank lain? Cek tawaran Bank Mandiri ini Pertama, bisnis mereka kurang berkembang. Model bisnis
fintech lending yang ditawarkan tak mampu mendapatkan minat pengguna (pemberi dan penerima pinjaman). Akibatnya, pendapatannya rendah dan tak mampu menopang biaya.
Kedua, kata Bambang, karena sistem elektronik kurang andal sehingga perusahaan
fintech lending bersangkutan tak mampu melakukan proses
underwriting secara andal. "Sistemnya tak mampu menghasilkan
scoring yang mampu melakukan
profiling yang lebih akurat," ujar Bambang kepada kontan.co.id, Senin (5/10). "Kekuatan P2P
lending adalah teknologi informasi (TI) karena keseluruhan proses lebih banyak bertumpu pada TI, khususnya pada
artificial intelligence (AI) dan
big data. Bisnis P2P
lending membutuhkan komitmen untuk investasi pada IT," lanjutnya. Ketiga, persoalan permodalan penyelenggara
fintech lending itu sendiri. Banyak penyelenggara
fintech lending bermodal kecil. Tak lagi mampu beroperasi karena kehabisan modal. Dalam 3 tahun operasi, mayoritas penyelenggara belum mampu menghasilkan laba, dan modalnya terus tergerus.
Baca Juga: Harga emas spot turun ke US$1.758 di tengah penguat dolar dan yield US Treasury Bambang menyebut, dalam Peraturan OJK No. 77/2016 persyaratan modal disetor minimum Rp 2,5 miliar, dan memang terlalu kecil. Banyak yang modal disetor di atas Rp 2,5 miliar pun tapi tidak bisa bertahan. "Kami sedang menyiapkan peraturan baru, salah satu isinya adalah peningkatan modal disetor agar mencukupi untuk bisa bertahan di fase awal sebelum mampu menghasilkan laba," kata Bambang. Keempat, menurut Bambang, penyelenggara tak mampu memenuhi persyaratan perizinan yang telah ditetapkan OJK. "Tren ke depan, setelah kami mencabut moratorium, akan ada yang mengajukan perizinan sehingga jumlah pemain kemungkinan akan bertambah," imbuh Bambang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hasbi Maulana