KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Asuransi Pembiayaan Indonesia (APPI) mengungkapkan bahwa penurunan segmen kelas menengah bisa berdampak terhadap meningkatnya kredit bermasalah atau
nonperforming finance (NPF). Hal tersebut terjadi karena penurunan daya beli masyarakat akan membuat kemampuan dalam membayar menurun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat sekitar 9,4 juta penduduk kelas menengah telah turun kasta ke kelompok
aspiring middle class selama 2019 sampai dengan 2024 menjadi 47,85 juta. Secara tahunan, jumlah kelas menengah juga turun dari 2023 yang sebanyak 48,27 juta orang. Sedangkan untuk NPF perusahaan pembiayaan per Juni 2024 tercatat 2,8%, naik secara tahunan atau
year on year (YoY) dan bulanan (MtM), yakni masing-masing sebesar 2,69% pada Juni 2023 dan 2,77% pada Mei 2024. Menanggapi hal ini, PT CIMB Niaga Auto finance (CNAF) menilai bahwa penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia ini bisa berdampak terhadap kinerja perusahaan, terutama industri jasa keuangan. Pasalnya, dapat meningkatkan risiko kredit macet.
Presiden Direktur CNAF Ristiawan Suherman menyebutkan, sampai dengan Agustus 2024, Non Performing Finance (NPF) CNAF berada di posisi 1,22% atau dapat dikatakan membaik sebesar 11Bps jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya yang mencapai 1,32%.
Baca Juga: Strategi Mandiri Utama Finance Cegah Kredit Macet di Tengah Susutnya Kelas Menengah "Apabila diliat secara
month-to-month, posisi NPF CNAF di bulan Agustus 2024 dapat dikatakan membaik juga sebesar 0,11% jika dibandingkan dengan bulan Juli 2024 yang sebesar 1,46%," kata Ristiawan kepada Kontan.co.id, Jumat (6/9). Selain itu, dia menyampaikan bahwa sampai saat ini NPF CNAF masih lebih baik dari rata-rata industri
multifinance, di mana data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan NPF bulan Juni 2024 sebesar 2,8%. Lebih jauh lagi, Ristiawan mengatakan dalam hal memitigasi penurunan daya beli masyarakat serta menurunnya kemampuan membayar angsuran, CNAF melakukan beragam inisiatif diantaranya yaitu, perusahaan aktif dalam mengingatkan debitur terkait pembayaran angsuran lebih awal melalui fasilitas WA dan telepon, kemudian saat ini CNAF juga sedang mengembangkan teknologi telepon mempergunakan suara robot serta memperkuat proses KYC (
Know Your Customer) nasabah. "CNAF juga akan menambah
channel dan metode pembayaran angsuran agar akses pembayaran angsuran menjadi lebih mudah terjangkau di masyarakat," kata Ristiawan. Tak hanya itu, Ristiawan bilang bahwa pihaknya juga menjalankan berbagai strategi dalam menjaga kesehatan portofolio, diantaranya yakni dengan pemutakhiran sistem
scoring dalam menentukan dan memastikan kualitas nasabah yang disetujui apabila mempunyai tingkat resiko terkendali. Baca Juga: Perbankan Perlu Waspadai Risiko Kredit Macet dari Paylater Selaras dengan hal ini, Direktur Utama BRI Finance
, Wahyudi Darmawan mengatakan bahwa kinerja perusahaan sampai saat ini masih terjaga dengan baik hal tersebut didukung oleh berbagai konsep strategi internal dan penanganan kualitas kredit yang dinamis dalam menghadapi tantangan pasar. Wahyudin menyebutkan, BRI Finance mencatat NPF per Juli 2024 menurun tipis sebesar 5 basis poin (bps) secara tahunan atau
year on year yakni 1,83%. Meski turun, menurut dia angka tersebut berada di bawah batas ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yakni 5%. Wahyudin mengatakan bahwa perusahaan akan terus berusaha menjaga kualitas kredit serta mempersiapkan strategi dalam menjaga kestabilan perusahaan.
Pihaknya juga telah mengimplementasikan berbagai strategi dalam penanganan pembiayaan macet, yaitu dengan fokus terhadap perbaikan kualitas pembiayaan dan penguatan infrastruktur collection. Kemudian, melakukan pengembangan risk engine untuk meningkatkan mitigasi risiko. "Dan selanjutnya, kami juga melakukan pengembangan credit
scoring dan collection scoring system," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Putri Werdiningsih