KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jumlah kelas menengah terus turun dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, kelas menengah menjadi salah satu ujung tombak penggerak ekonomi nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2019 masyarakat kelas menengah mencapai 57,33 juta, kemudian turun menjadi 53,83 juta pada 2021. Selanjutnya, jumlah masyarakat kelas menengah juga tercatat kembali turun pada 2022 menjadi 49,51 juta, turun pada 2023 menjadi 48,27 juta, dan pada 2024 turun menjadi 47,85 juta.
Artinya, dalam 5 tahun saja, jumlah masyarakat kelas menengah berkurang sekitar 9,48 juta. Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan, kelas menengah menjadi pendorong terbesar perekonomian Indonesia lantaran kelompok tersebut adalah kelompok pembelanja besar dan pembelanja cepat, sehingga bisa mendorong konsumsi rumah tangga.
Baca Juga: Ekonomi Kelas Menengah Tertekan, Perbankan Optimis Kredit Konsumsi Tumbuh Sementara itu, konsumsi rumah tangga menjadi dorongan utama perekonomian dalam negeri. “(Masyarakat kelas menengah) Senang
spending, tapi juga cepat mengeluarkannya,” tutur Amalia dalam konferensi pers, Jumat (28/8). Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Raden Pardede mengungkapkan, penurunan jumlah masyarakat kelas menengah lantaran terdampak pandemi Covid-19. Saat pandemi berlangsung, pemerintah paling banyak menggelontorkan anggaran untuk masyarakat kelas bawah. Padahal, “Kelas menengah pilarnya adalah sektor manufaktur dan formal sektor yang produktivitasnya relatif tinggi. Persoalannya adalah akhir-akhir ini sektor manufaktur agak tertekan, tertinggal akibat dari China dan lainnya,” tutur Raden Kamis (29/8). Masalah lainnya adalah, penciptaan lapangan kerja belakangan ini lebih banyak di sektor informal dan sektor yang minim produktivitas. Untuk itu, Raden berharap ke depan penciptaan lapangan kerja harus lebih banyak di sektor formal, khususnya di industri manufaktur. Ia juga berharap pendapatan yang diterima masyarakat di sektor manufaktur bisa meningkat, atau tidak lagi sebesar US$ 5.000 per kapita. Para pekerja di sektor manufaktur diharapkan bisa mencapai US$ 20.000 hingga US$ 30.000 per kapita. Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Yorga Permana menambahkan, kurangnya lapangan kerja di sektor formal, membuat masyarakat kelas menengah terjebak sebagai pekerja
gig atau pekerjaan yang relatif pendek. Hasil studinya menunjukkan, di DKI Jakarta saja, dalam dalam 10 tahun terakhir tidak ada pekerjaan baru secara agregat di sektor formal. Pekerjaan baru di daerah tersebut ditopang oleh ojek online yang terus meningkat pesat.
Baca Juga: Konsumsi Masyarakat Belum Pulih ke Era Pra Pandemi, Ekonom: Alarm Bagi Pemerintah Padahal kata Yorga, sebenarnya 66% ojek online ini menginginkan bekerja di sektor formal sebagai pegawai atau buruh agar mendapatkan upah yang stabil. Akan tetapi, karena minimnya lapangan pekerjaan, akhirnya mereka tetap bertahan menjaga pekerja gig. “Tentunya ini menjadi ancaman, karena bekerja di gig tidak ada upah bulanan, tidak ada stabilitas pendapatan sehingga mereka masuk ke kelompok rentan, atau maksimal di menuju kelas menengah,” ungkapnya dalam diskusi Publik INDEF ‘Kelas Menengah Turun Kelas,’ Senin (9/9). Ia mencatat, gig ekonomi yang ditemukan adalah fenomena urban sebanyak 25% pekerja ojek online dan kurir di Indonesia terkonsentrasi di Jabodetabek dan 40% di Pulau Jawa. Sementara itu, sepanjang 2011-2019, penciptaan pekerjaan baru di DKI Jakarta ditopang oleh ekonomi
gig. BPS mencatat, 5 tahun terakhir, masyarakat kelas menengah yang bekerja di sektor formal menurun dari 2019 yang sebesar 61,71% menjadi 2023 sebesar 58,65%. Pekerja di sektor formal ini kemudian meningkat jadi 59,35% pada 2024. Karenanya, ia berharap ke depan pemerintah bisa menciptakan lebih banyak lapangan kerja yang layak, sehingga membantu masyarakat mempertahankan kelas menengah dan agar tak semakin turun ke jurang kemiskinan.
Nyaris Turun ke Jurang Kemiskinan
Semakin besarnya pengeluaran rumah tangga dan tingginya biaya hidup membuat jumlah masyarakat kelas menengah terus turun. Alih-alih melompat ke kelas atas, masyarakat kelas menengah kini justru rentan jatuh ke jurang kemiskinan. Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan, pengeluaran penduduk kelas menengah yang kini cenderung mendekati batas bawah pengelompokan. Sehingga kelompok ini rentan jatuh ke jurang kemiskinan. “Kalau kita lihat dari modus kelas menengah dari batas bawah dan batas atas, memang sebagian besar penduduk kelas menengah cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokan kelas menengah bawah,” tutur Amalia saat melakukan rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (28/8). Menurut Amalia, batas atas pengelompokan kelas menengah per tahun 2024 adalah 17 kali dari garis kemiskinan yaitu mencapai Rp 582.932 per bulan atau mencapai Rp 9.909.844. sementara itu, batas kelompok menengah ke bawah mencapai 3,5 kali Rp 582.932, menjadi Rp 2.040.262.
Baca Juga: Minimnya Lapangan Kerja Layak Jadi Faktor Masyarakat Kelas Menengah Turun Sementara itu modus pengeluaran kelas menengah mencapai Rp 2.056.494, atau mendekati batas bawah pengelompokan yakni sebesar Rp 2.040.262. Modus pengeluaran kelas menengah tersebut terus mendekati batas bawah pengelompokan bila dibandingkan dengan 2014. Pada 2014, batas bawah modus pengeluaran kelas menengah mencapai Rp 1.708.900 dengan batas bawah senilai Rp 1.059.573 juta dan batas atas hanya sebesar Rp 5.146.495. Turunnya jumlah masyarakat kelas menengah juga berdampak pada berkurangnya penerimaan pajak dalam negeri. Menteri Keuangan periode 2014-2016 Bambang Brodjonegoro mengatakan, efek langsung dari penurunan kelas menengah adalah berkurangnya daya beli masyarakat, sehingga juga mengurangi penerimaan pajak penghasilan (PPh). “Kalau pekerja formal kena PHK dan pindah ke sektor informal, berarti tidak lagi menjadi lagi pembayar PPh Pasal 21,” tutur Bambang kepada Kontan, Minggu (1/9). Bambang menambahkan, kebiasaan mengonsumsi air kemasan dan galon juga turut berkontribusi pada berkurangnya masyarakat kelas menengah. Sebab, tanpa disadari penggunaan air galon juga termasuk pengeluaran yang cukup besar bila diakumulasi. Maka dari itu, ia berharap agar infrastruktur air bersih bisa diperbaiki, agar masyarakat tidak lagi bergantung pada air kemasan.
Dorong Lapangan Kerja
Amalia menambahkan, menjaga kelas menengah adalah bagian penting yang harus diupayakan pemerintah agar konsumsinya tidak menurun. Sebab, besaran pengeluaran kelompok kelas menengah mencapai 82% dari total konsumsi masyarakat. “Kelas menengah memiliki peran yang sangat kritikal dan krusial sebagai bantalan ekonomi suatu negara. Di saat bantalannya itu kebal, maka ekonomi suatu negara akan relatif tidak rentan terhadap gejolak ataupun
shock yang datang baik dari eksternal maupun dari domestik,” ungkapnya. Bambang menjelaskan, untuk menyelamatkan agar jumlah kelas menengah tidak terus menurun, pemerintah perlu mendorong investasi guna menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak.
Baca Juga: Pelemahan Daya Beli akan Memengaruhi Aspek Sosial dan Ekonomi Pemerintah juga dinilai harus menjaga agar biaya hidup dasar seperti pangan, rumah, transportasi, air minum, tidak memberatkan masyarakat kelas menengah. “Ditambah juga pemberian insentif pajak seperti PPN untuk rumah sederhana (PPN DTP sektor Properti) dan subsidi terkait kebutuhan dasar seperti bahan bakar tapi harus yang terbarukan,” ungkap Bambang. Dalam jangka menengah panjang, Bambang berharap agar pemerintah memperbanyak infrastruktur dasar seperti transportasi publik, untuk mengurangi biaya oprasional kendaraan. Pun dengan jaringan gas juga harus diperbanyak untuk mengurangi pemakaian LPG. Kepala Ekonom David Sumual menambahkan, penciptaan lapangan kerja penting untuk menjaga agar kelas menengah tak semakin turun. Sebab, semakin banyak lapangan kerja yang terserap, maka masyarakat yang bekerja tersebut bisa naik kelas menjadi menengah, dan masyarakat kelas menengah tidak turun kasta. Permasalahannya, kata David, sekitar 30% lulusan sarjana di Indonesia, 25% bekerja sebagai guru honorer yang umumnya mendapatkan upah yang rendah. Sementara 15% nya bekerja di jasa pemerintahan. “Nah kalau struktur tenaga kerjanya sebesar itu, tentu akan mempengaruhi upahnya. Kalau lebih banyak kerja di sektor manufaktur, yang upahnya lebih tinggi, maka upahnya yang didapatkan akan lebih baik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, David menyampaikan, dengan pemberian upah yang layak, maka secara otomatis juga bisa mendorong perekonomian Indonesia. Konsumsi masyarakat kelas menengah akan semakin terdorong, serta kelas menengah bisa kembali menjadi andalan untuk mendorong perekonomian dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi