KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tantangan pemulihan ekonomi Indonesia pasca Pandemi Covid-19 masih besar. Berbagai sentimen eksternal masih menekan proses pemulihan ekonomi, mulai dari krisis geopolitik perang Rusia-Ukraina, tren suku bunga tinggi hingga krisis pangan dan energi, dan memanasnya situasi di Gaza. Ekonomi Indonesia belum bisa dikatakan sepenuhnya pulih. Hal itu tercermin dari peningkatan jumlah kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Berdasarkan data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) dari lima pengadilan niaga di Indonesia, permohonan kepailitan dan PKPU pada 2019 tercatat hanya 435 pengajuan. Lalu pada tahun 2020 meningkat drastis menjadi 635 permohonan dan mencapai puncaknya pada 2021 dengan 726 permohonan. Adapun pada 2022 turun menjadi 625 dan pada per 14 Oktober 2023 menjadi 563 permohonan.
Untuk menggerakkan ekonomi di tengah tantangan yang masih besar, pemerintah mengeluarkan sejumlah insentif serta jaminan hukum dan kepastian berusaha bagi sektor swasta. Berdasarkan Indeks Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business/EoDB) World Bank, peringkat Indonesia di dunia mentok di posisi 73 sejak 2018 hingga 2020. Di Asean saja, indeks EoDB Indonesia pada 2020 hanya 69,6, di bawah Vietnam (69,8), Brunei (70,1), Thailand (80,1), Malaysia (81,5), dan Singapura (86,2). Peringkat kemudahan berusaha menjadi panduan bagi setiap investor yang hendak menanamkan modalnya pada suatu yurisdiksi.
Baca Juga: Status PKPU PTPP Dicabut PN Niaga Makassar Senior Partner dan Head of the Dispute Resolution and Restructuring & Insolvency Practice Groups dari Hadiputranto, Hadinoto & Partners, Andi Y. Kadir mengungkapkan proses kepailitan dan PKPU tidak hanya sekedar persoalan aspek legal tetapi juga menyangkut aspek ekonomi. “Dalam proses restrukturisasi utang, kita tak hanya membicarakan soal infrastrukturnya [UU No. 37/2004] sudah memadai atau belum, tetapi juga soal recovery rate bagi kreditur serta perusahaan yang melalui proses PKPU sudah menjadi perusahan yang sehat atau justru malah jadi zombie company,” kata Andi dalam keterangan resminya, Kamis (19/10). Andi menyebut, kurangnya konsistensi penerapan UU No. 37/2004 mengakibatkan proses restrukturisasi utang berlarut-larut, tingkat recovery rate yang rendah hingga ketidakseimbangan kedudukan antara kreditur dan debitur. Alhasil, cost of financing di Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini pada akhirnya justru malah menganggu pemulihan ekonomi. Dia mencontohkan adanya perdebatan mengenai apakah suatu utang dapat dibuktikan secara sederhana, di mana persoalan ini menjadi salah satu poin yang banyak diperdebatkan dalam pengajuan permohonan pailit maupun PKPU. Andi bilang, UU No. 37/2004 sejatinya sudah mengatur bahwa klausul arbitrase yang disebut dalam perjanjian tidak menghilangkan kewenangan pengadilan niaga untuk memeriksanya, Namun, yang terjadi, katanya, justru klausul arbitrase dipakai untuk menyatakan bahwa pengadilan niaga tidak berwenang. “Sekarang yang terjadi justru malah sebuah kemunduran karena sebenarnya pasal tersebut diatur agar tidak memicu terjadi perdebatan,” jelasnya.
Baca Juga: Lolos Gugatan Pailit, Waskita Karya (WSKT) Kebut Proyek Bendungan Bener di Purworejo Sementara menyangkut soal perjanjian kredit yang tunduk pada hukum asing apakah masih bisa atau tidak mengajukan permohonan pailit atau PKPU di Indonesia menurutnya sering tidak konsisten.
Padahal, kata dia, pengadilan niaga seharusnya menerima karena pengadilan niaga tidak bisa memeriksa itu akan menjadikan semua perkara perjanjian kredit yang tunduk pada hukum asing itu penyelesaiannya dibawa ke luar. "Itu sebenarnya tidak bagus juga buat perkembangan hukum Indonesia. Apalagi, ada kecenderungan bahwa UU seringkali dijadikan sebagai alat untuk menagih utang atau bertolak belakang dengan restrukturisasi. Hal yang seringkali menimpa swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN)." tambah Andi. Pendiri Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), yang juga Pengajar di Fakultas Hukum UI dan Anggota Tim Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung, Aria Suyudi mengungkapkan sejak berlakunya UU No. 37/2004, PKPU seringkali dijadikan sarana yang paling mudah untuk menagih utang, alih-alih melakukan perdamaian atau restrukturisasi. Aria melihat ada kecederungan prosedur kepailitan dan PKPU dieksploitasi sebagai strategi dispute, padahal tidak memenuhi kategori syarat pernyataan kepailitan. “Itu menjadikan kepailitan dan PKPU tidak berjalan sesuai dengan fungsi seharusnya.” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dina Hutauruk