Juragan teh organik dengan rasa ciamik



KONTAN.CO.ID - Meski punya pekerjaan yang bagus, kehidupan di Jerman yang terlalu monoton membuat Alexander Halim kembali ke tanah air pada 1995 silam. Apalagi, pria kelahiran Jakarta, 6 Oktober 1952, ini melihat di Indonesia lebih banyak tantangan.

Dia bercita-cita, suatu saat membangun usaha di Indonesia, tidak lagi bekerja di perusahaan. Meski harus bekerja dua tahun dulu di sebuah perusahaan pembuat filter udara untuk pabrik, ia berhasil mewujudkan impian merintis bisnis.

Bersama pemilik perusahaan pembuat filter udara tempatnya bekerja, Alexander membangun usaha perkebunan teh, dan sukses. Kini, di bawah bendera PT Harendong Green Farms, kebunnya seluas 40 hektare di daerah Lebak, Banten, sanggup memproduksi 14 ton teh per tahun. Sebanyak 80% hingga 85% untuk pasar ekspor.

Sayangnya, dia enggak mengungkap omzet usahanya. Ia hanya bilang, harga teh per kilogram US$ 25 untuk pasar ekspor. Sedang harga teh di pasar lokal lebih mahal, mencapai Rp 70.000 per 80 gram.

Rata-rata penjualan teh untuk pasar lokal setahun sekitar tiga sampai empat ton. “Meski begitu, kalau dirupiahkan, nilai ekspor sama dengan penjualan lokal. Karena kan, untuk ekspor kami jualnya curah,” ungkap Alexander yang sekarang menjadi Presiden Direktur Harendong Green Farms.

Sebelum berbisnis kebun teh, pemilik gelar doktoringenieur (Dr. Ing) ini lebih dulu merintis usaha yang bergerak di bidang teknologi informasi (IT). Setelah keluar dari perusahaan pembuat filter udara pada 1997, bersama adik dan temannya, dia mendirikan bisnis yang menawarkan data capping.

Usahanya ini berkembang dan meluas ke data network dan data transfer. Pada 2007 atau tepat 10 tahun bisnisnya berjalan, ia menyerahkan pengelolaan perusahaan ke adik dan temannya. “Saya mau fokus ke perkebunan teh. Lewat usaha ini, saya bisa rileks. Soalnya kan, usia saya saat itu sudah 50 tahun lebih,” kata Alexander.

Ya, dia merintis usaha kebun teh mulai 2005. Awalnya, ia menyewa lahan seluas dua hektare di daerah Puncak, Bogor, untuk pembibitan teh. Bibitnya impor langsung dari Taiwan, yakni jenis Camellia sinensis.

Alexander memilih teh asli China itu lantaran pesaingnya di Indonesia tidak banyak. Dari seluruh perkebunan teh yang ada di negara kira, luas lahan  yang berisi Camellia sinensis hanya 10%. Selain itu, “Rasa teh lebih enak dan manfaatnya lebih banyak,” imbuhnya.

Pucuk daun varietas ini menghasilkan teh putih, teh hijau, teh oolong, dan teh hitam. Nah, di Indonesia, menurut Alexander, perkebunan teh yang punya varietas ini cuma ada tiga. Pertama, ada di Bengkulu dengan luas mencapai 200 hektare. Kedua, di daerah Leuwiliang, Bogor. Ketiga, milik Harendong Green Farms.

Teh organik

Sejak pembibitan, Alexander tinggal di perkebunan untuk mengawasi sekaligus belajar prosesnya. Maklum, ia sama sekali tidak punya latar pendidikan di bidang pertanian.

Alhasil, sepanjang Senin hingga Kamis, ia ada di kebun. Sedang Jumat sampai Ahad, dia pulang ke rumahnya di daerah Serpong, Tangerang Selatan.

Selama tinggal di perkebunan, Alexander banyak belajar dari petani teh yang menjadi mitranya. “Saya juga banyak sekali baca buku dan artikel di internet. Dari situ, saya banyak sekali dapat ilmu dan melihat ada sesuatu yang baik, yakni perkebunan organik,” kata pemilik gelar sarjana, master, dan doktor teknik mesin ini.

Untuk mewujudkan perkebunan teh organik, dia dan pendiri Harendong Green Farms lainnya membeli lahan di daerah Lebak seluas 140 hektare. Posisinya berada di ketinggian 800–900 meter di atas permukaan laut. “Sebelum kami buka, lahan tersebut awalnya penuh semak belukar,” ujarnya.

Kebun teh di Lebak mulai panen tahun 2010. Saat itu, ia pun mengajukan sertifikasi organik ke Kementerian Pertanian (Kemtan). Lantaran sejak awal sudah mengusung perkebunan organik, proses sertifikasi berjalan cepat, hanya enam bulan sertifikat keluar.

Sejatinya, dari awal Alexander sadar bahwa permintaan teh organik di dalam negeri sangat minim. Tapi, di luar negeri, produk ini menguasai pasar teh.

Karena itu, sedari awal dia mengincar pasar ekspor. “Kami putuskan betul dengan tangan besi bahwa kami bermain di produk organik,” ucapnya.

Dua tahun awal, 2010–2012, Harendong Green Farms hanya memproduksi teh oolong. Mulai 2013, Alexander menambah produk teh hijau, putih, dan hitam.

Ia menggunakan merek Banten Tea untuk keempat produk itu. Sebab, kebun dan pabrik teh ada di Banten. Sedang nama Haredong, dia ambil dari nama bunga yang banyak tumbuh di sekitar perkebunan.

Meski pasar terbesar teh organik ada di luar negeri, Alexander tak langsung mengekspor produknya. Ia menjajal dulu pasar lokal lantaran produksinya juga belum banyak.

Untuk memperkenalkan produknya, dia ikut Pameran Flora dan Fauna (Flona) di Lapangan Banteng, Jakarta. Ternyata, responsnya cukup bagus. Total produksi teh oolong Harendong Green Farms di 2010 sebanyak tiga ton. “Terserap di lokal semua,” kata Alexander.

Meski begitu, awalnya tak mudah menjual teh oolong. Ketika itu, nama teh oolong asing di kebanyakan telinga orang Indonesia. Karena itu, Alexander rajin mengedukasi pasar dengan mengikuti banyak pameran, selain Flona.

Dia banyak memberikan sampel teh secara gratis biar orang bisa mencicipi. Bukan cuma di pameran, ia juga menawarkan teh gratis di berbagai pertemuan, seperti arisan. Termasuk, menyediakan teh cuma-cuma di sebuah kedai di Pantai Indah Kapuk, Jakarta.

Pasar milenial

Baru di 2011, Alexander mulai masuk pasar ekspor, dengan ikut pameran makanan dan minuman di Jepang bertajuk Foodex Japan. Untuk memperluas pasar, dia bergabung di pameran di Amerika Serikat pada 2012 dan di Jerman pada 2013.

Di Jerman, Alexander mengaku, lebih mudah memasarkan Banten Tea. Sebab, dia pernah lama tinggal di negeri panser sehingga tahu bahasa dan kebiasaan masyarakat negara itu. “Maka itu, ekspor kami yang terbesar ada di Eropa. Kami ada di Jerman, Belanda, Prancis, dan Inggris,” tambahnya.

Tentu, untuk menembus pasar ekspor juga tidak mudah. Sertifikat organik dari Kemtan jelas enggak cukup. Itu sebabnya, Alexander mengurus sertifikasi organik ke Kemtan Jepang, Amerika Serikat, dan sejumlah negara di Eropa.

Baru-baru ini, Banten Tea mengantongi sertifikat keamanan makanan, Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dari negeri Uak Sam. “Ini adalah pengontrolan manajemen sistem untuk makanan. Produknya betul-betul aman untuk dikonsumsi manusia. Prosesnya selama setahun,” bebernya.

Dan hebatnya, teh oolong Banten Tea menyabet juara satu dalam kejuaraan teh dunia di Texas, Amerika Serikat, pada 2015 untuk kategori oolong light. Lalu, juara kedua untuk kategori dark oolong.

Biar pasar produknya makin luas, terutama di dalam negeri, Alexander membidik kaum milenial. Maklum, selama ini teh identik sebagai minuman orangtua.

Untuk itu, ia masuk ke acara-acara anak muda. Misalnya, SIAL InterFOOD di JIExpo Kemayoran. Di pameran ini ada kompetisi tea brewing yang pesertanya anak muda.

Untuk inovasi, dia berencana membuat produk di luar single origin atau tidak bercampur apa-apa. Ia akan memproduksi teh dengan campuran rempah dan bumbu, seperti jahe, serai, juga kapulaga. Tambah lagi, kebutuhan dunia akan rempah dan bumbu besar sekali.

Lahan di Lebak yang seluas 140 hektare baru terpakai 40 hektare untuk perkebunan teh. Nah, Alexander berencana memanfaatkan lahan yang masih menganggur itu untuk tanaman rempah dan bumbu.

Hasilnya tidak hanya untuk campuran teh, juga dia ekspor dalam bentuk utuh. “Mungkin, enggak bisa satu dua tahun ke depan, kan, untuk menanam butuh waktu. Paling cepat dua tiga tahun ke depan,” imbuhnya.

Jadi, dia mengembangkan bisnis sembari terus melakukan edukasi ke masyarakat mengenai cara menyeduh dan menyeruput teh dengan benar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan