Kabar gembira dari MA atas kasus Bank Century



Asa menyeruak dari ribuan nasabah eks Bank Century yang jadi korban Antaboga. Meski putusan MA bukan yurisprudensi, mereka bisa menjadikan keputusan yang menolak kasasi Bank Mutiara itu sebagai senjata baru.

Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi Bank Mutiara dan memenangkan nasabah eks Bank Century cabang Solo menjadi angin segar bagi nasabah bank itu di daerah lain. Bahkan, bukan tidak mungkin, keputusan itu menimbulkan harapan baru bagi nasabah PT Sarijaya Permana Sekuritas maupun sebagian nasabah Bakrie Life yang masih menanti pengembalian dana mereka.

Tengok saja harapan yang muncul dari Veronica Lindawati, nasabah eks Bank Century cabang Yogyakarta. “Saya senang sekali mendengar putusan MA ini. Tentu ada harapan baru buat saya karena semakin jelas siapa yang salah dan siapa yang benar,” kata Veronica.


Menurut Zealus Siput, koordinator nasabah eks Bank Century, kasus hukum antara nasabah eks Bank Century yang membeli produk reksadana Antaboga Deltasekuritas dengan Bank Mutiara, nama baru Bank Century, memiliki peluang untuk menang seperti kasus di Solo. “Misalnya, di Surabaya dan Yogyakarta, ini bisa menjadi peluang,” ujar Siput.

Zealus mengungkapkan, total nasabah eks Bank Century yang menjadi korban gagal bayar reksadana Antaboga yang dipasarkan melalui Bank Century sekitar 600 orang. Sebanyak 35 orang adalah nasabah eks Bank Century cabang Solo. Namun, yang melayangkan gugatan hukum hanya 27 orang.Jumlah nasabah eks Bank Century yang cukup besar ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Mereka juga sedang menempuh jalur hukum untuk menuntut uang mereka kembali utuh.

Berdasarkan catatan Umar Ulin Lega, Kepala Divisi Hukum Bank Mutiara, nilai tuntutan nasabah di Surabaya total mencapai Rp 73,6 miliar. Lalu, gugatan di Yogyakarta meminta pengembalian dana sebesar Rp 5,4 miliar dan di Jakarta Rp 12 miliar. Tapi, sumber KONTAN berbisik, total dana milik nasabah eks Bank Century yang terjeblos di produk Antaboga jauh lebih besar dari angka tersebut.

Ricardo Simanjuntak, pengamat hukum perbankan, menilai, sebenarnya, Bank Mutiara hampir sulit mengelak dari putusan MA itu. Sebab putusan di tingkat kasasi sebetulnya adalah keputusan yang hampir final. “Tapi, praktik hukum beracara di Indonesia masih membolehkan upaya hukum lanjutan selama ada bukti-bukti baru,” tutur Ricardo.

Cuma, yang jelas, putusan MA ini tidak dapat menjadi yurisprudensi dalam kasus nasabah eks Bank Century lainnya. “Walau belum bisa, sebagai putusan tertinggi dan fungsi MA sebagai lembaga pengawasan, pengadilan di bawah MA akan menjadikan putusan ini sebagai bahan pertimbangan, tentu dengan disertai alasannya,” jelas Ricardo.

Menurut Ricardo, putusan MA akan menjadi yurisprudensi jika terjadi beberapa kali secara berulang-ulang untuk kasus yang sama. “Kalau satu putusan saja seperti kasus Solo belum bisa,” jelas Ricardo. Secara teori, yurisprudensi adalah putusan hakim MA yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga, putusan ini bisa diikuti hakim atau badan peradilan lain dalam memutuskan perkara atau kasus yang serupa. Setiap putusan kasasi di MA sudah bersifat final. Sebab, konsekuensi dari putusan ini mengalahkan putusan pengadilan sebelumnya. Misalnya, mengalahkan putusan pengadilan tinggi dan pengadilan negeri yang ada di bawahnya.

Namun, Ricardo juga menambahkan, putusan MA dalam kasus nasabah eks Bank Century cabang Solo bisa menjadi dasar untuk membela kepentingan para nasabah eks Bank Century di beberapa kota lainnya yang mengalami nasib serupa. Kuasa hukum maupun manajemen Bank Mutiara juga menolak pendapat bahwa putusan MA yang memenangkan nasabah eks Bank Century Solo akan menjadi yurisprudensi atau argumen hukum bagi kasus serupa di kota lain. “Bukan yurisprudensi tapi preseden,” tutur Umar Ulin.

Maryono, Direktur Utama Bank Mutiara, juga menyatakan dengan tegas, hukum di Indonesia tidak mengenal yurisprudensi. “Apa yang diputuskan oleh MA tidak wajib diikuti oleh pengadilan di bawahnya karena hukum kita pakai kontinental,” ungkap Maryono. “Putusan MA itu tidak bisa mempengaruhi kasus lain, kecuali bila kasus itu gugatan class action,” tambah Medi Pruba, kuasa hukum Bank Mutiara.

Menurut Medi, gugatan nasabah eks Bank Century melalui class action hanya berlangsung di Jakarta. Fakta yang ada, gugatan ini kalah di Pengadilan. Negeri Jakarta Pusat karena majelis hakim memutuskan gugatan tersebut tidak dapat diterima alias N.O. (niet onvankelijke velkraad). “Penggugat melakukan banding ke Pengadilan Tinggi, namun sampai sekarang kami belum mendapat pemberitahuan resminya,” imbuhnya.

LPS berhati-hati

Meski masih menjadi polemik, tak pelak, putusan MA yang mementahkan kasasi Bank Mutiara mendapatkan perhatian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Maklum, LPS merupakan pemilik 99% saham Bank Mutiara setelah bank ini mendapat talangan dari pemerintah sebanyak Rp 6,7 triliun.

Mirza Adityaswara, Kepala Eksekutif LPS, menegaskan, LPS dan Bank Mutiara tentu akan melakukan upaya hukum yang diizinkan oleh sistem hukum di Indonesia. Misalnya mengajukan Peninjauan Kembali atau PK ke MA. Meski begitu, Mirza menuturkan, Bank Mutiara dan LPS bakal berhati-hati dalam menyikapi putusan MA tersebut lantaran Bank Mutiara adalah aset negara. “Jangan sampai LPS dan Mutiara malah melanggar undang-undang,” ucapnya.

Mirza juga menegaskan kembali, investasi nasabah eks Bank Century di Antaboga tidak tercatat di Bank Century pada saat bank tersebut diselamatkan oleh pemerintah melalui LPS. “Apakah investasi yang dilakukan di perusahaan sekuritas dapat dimintakan ganti rugi ke bank yang mendistribusikan produk investasi itu?” tanyanya.

Saat ini, Mirza mengatakan, banyak bank yang mendistribusikan produk investasi dari perusahaan sekuritas. Nah, “Apakah bank mengganti produk investasi jika perusahaan investasi yang menitipkan penjualan produknya tersebut jatuh?” tanya Mirza lagi.

Menurut Mirza, perlindungan konsumen perbankan dan investasi memang penting. Namun, jika LPS atau Bank Mutiara membayar ganti rugi produk investasi perusahaan lain, ini akan menimbulkan moral hazard. “Ini juga harus dicegah,” tegas Mirza.

Ricardo bilang, sekarang memang banyak produk investasi yang dijual di perbankan. Dia mengakui, penjualan produk investasi melalui bank setiap saat berpotensi menimbulkan problem hukum. Di mata konsumen, produk itu masih berkaitan dengan bank karena mereka membeli setelah melihat kredibilitas bank penjual. Sedangkan bagi bank, mereka hanya menjadi pihak yang melakukan fungsi intermediasi.

Tapi, Ricardo mengingatkan, putusan MA dalam kasus nasabah eks Bank Century cabang Solo harus menjadi pelajaran bagi perbankan kita. Bank tidak bisa lepas tangan dari produk yang mereka jual, sekalipun itu keluaran perusahaan lain. “Untuk mengantisipasi kasus serupa dan tidak merugikan bank, dari awal bank sebagai penjual harus menjelaskan siapa pihak yang bertanggungjawab jika terjadi sengketa,” saran dia.

Ya, langkah ini sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-11/BL/2006 tentang Perilaku Agen Penjual Efek Reksa Dana Tapi, untuk mencegah sengketa yang tidak jelas ujungnya, saran manajer investasi di perusahaan pelat merah yang enggan disebut namanya, semua konsumen produk investasi yang membeli dari perbankan harus menanyakan, apakah produk tersebut telah mengantongi izin dari Bappepam-LK. Selain itu, “Juga apakah bank tersebut sudah mendapatkan lisensi dari Bapepam-LK untuk menjual. Harus diperjelas dari awal,” tegas sumber itu. Jadi, bank dan calon nasabah sama-sama peduli.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Imanuel Alexander